[ad_1]
Apalagi bila mencermati perkembangan dinamika ancaman saat ini, yaitu di era kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi.
Kementerian Pertahanan menyuarakan bahwa potensi ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa semakin kompleks dan multidimensi saat ini, baik dilakukan oleh aktor negara maupun aktor non negara.
“Bentuk ancaman tidak lagi bersifat konvensional, tetapi lebih bersifat non konvensional atau non militer, bahkan mempengaruhi hati dan pikiran manusia secara paradigmatis, tetapi efek yang ditimbukan sangat fundamental karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana suatu bangsa dapat hancur oleh bangsanya sendiri,” kata Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemhan, Mayor Jenderal TNI Dadang Hendra Yudha.
Menurut Dadang, pada era yang semakin terbuka dengan tingginya interdependensi seperti ini, perang tidak lagi dilakukan dengan cara mengirim tentara atau kekuatan militer dan bukan menguasai ruang wilayah, akan tetapi menguasai ekonomi, budaya, politik, teknologi, termasuk menguasai rule of law dari sebuah negara.
“Sehingga garis pemisah antara perang dan damai semakin menipis, dengan front yang nonlinear, bahkan medan tempur tidak terdefinisi dengan jelas.
Contoh nyata antara lain bahwa radikalisme, terorisme, aliran sesat, penyalahgunaan narkotika,” tegas Dadang.
Oleh karena itu, Dadang menambahkan, dibutuhkan SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap memiliki kesadaran membela negara.
“Kualitas Sumber Daya Manusia seperti inilah yang menjadi modal sosial sekaligus soft power bagi bangsa dan negara dalam menjamin eksistensinya dalam percaturan global ini,” kata Dadang.
Juru Bicara Menhan, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana mendesiminasikan nilai-nilai kebangsaan dan semangat bela negara para pendiri bangsa kepada kaum millenial.
Dahnil mengajak para stakeholders untuk berpartisipasi aktif agar generasi millenial tidak mengalami keterputusan sejarah, dan bisa menerapkan spirit Bela Negara.
Setidaknya, menurut Dahnil, ada dua ancaman di tengah rendahnya tingkat literasi kaum millenial.
Pertama, tidak peduli terhadap bangsa dan negara, atau terjebak pada paham yang fatalistik seperti terorisme dan anti ideologi negara.
Kedua, adanya sikap berlebihan terhadap nasionalisme dengan mengusung slogan right or wrong is my country.
“Rendahnya tingkat literasi menyebabkan absennya sikap kritis. Setiap kritik untuk perbaikan negeri dengan serta-merta dilawan dan dicap tidak nasionalis,” kata Dahnil.
Akademisi Universitas Pertahanan Yono Reksoprodjo mengatakan, bela negara yg diharapkan diikuti unsur-unsur masyarakat sipil jadi hal yang utama karena bisa mengisi kekosongan kemampuan kapasitas dan kapabilitas militer yang lebih terlatih untuk menghadapi kondisi tantangan konvensional.
Oleh karena itu, perlu tindak lanjut SOP bela negara bagi warga negara yang berhak untuk berpartisipasi dan kiat promosinya yang bisa mendongkrak minat warga negara.
Kegiatan kepramukaan, Palang Merah Remaja, Pencinta Alam hingga Resimen Mahasiswa, menurut Yono, bisa dijadikan sebagai wadah awal bela negara.
Namun, Kemhan perlu untuk membangun mekanisme yang pasti untuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas mereka yang sukarela ingin ikut program bela negara dan pengendaliannya.
Pola seperti di luar negeri dengan membangun sistem model Reserve Officer Training’s Corp, menurut Yono, bisa jadi referensi dalam mendorong percepatan bela negara.
“Masalah polarisasi politik juga bisa diselesaikan lewat program-program kegiatan bela negara bila diperlukan,” pungkas Yono Reksoprodjo .
Reporter: Fatma
Editor:
[ad_2]
Sumber Berita