[ad_1]
Pekanbaru, Gatra.com – Suprojo hanya bisa menarik napas panjang saat membaca isi pesan singkat yang masuk ke ponsel Androidnya empat hari lalu.
“Kami enggak percaya lagi dengan penjelasan pengurus koperasi,” begitulah isi pesan singkat itu.
Di satu sisi lelaki 47 tahun ini maklum dengan kondisi fsikologis orang yang mengirim pesan tadi.
Sebab sudah lebih setahun Nanton meninggal, tapi sampai sekarang duit klaim asuransi meninggalnya tak kunjung diterima ahli waris.
“Ahli warisnya memang terus mengejar saya. Secara kemanusiaan, pengen rasanya membayarkan dulu pakai duit koperasi. Tapi kalau Bumiputera nanti enggak bisa bayar, jadi masalah baru lah,” keluh Ketua KUD Tri Manunggal Abadi Desa Tapung Lestari Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, ini kepada Gatra.com, Sabtu (19/12).
Nanton adalah peserta asuransi Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (Idapertabun), sama seperti 574 anggota KUD Tri Manunggal Abadi lainnya.
Suprojo sendiri bagian dari mereka yang mengikat perjanjian pertanggungan dengan Asuransi Bumiputra 1912 yang dibagi dalam tiga tahapan.
Tahap pertama sebanyak 252 anggota, tahap kedua 60 anggota dan sisanya masuk pada tahap ketiga.
Nanton sendiri masuk pada tahap kedua yang kontrak pertanggungan asuransinya berakhir pada 2021.
Kalau tak meninggal, di akhir kontrak Nanton bakal kebagian duit Idapertabun sebesar Rp18 juta.
“Tapi lantaran meninggal sebelum kontrak habis, yang bersangkutan mendapat santunan meninggal sekitar Rp20 juta dan setelah kontrak habis, juga bakal dapat uang Idapertabun Rp18 juta. Begitu isi perjanjian polisnya,” rinci Suprojo.
Hanya saja kata Suprojo, boro-boro bakal dapat duit Idapertabun, duit santunan meninggal itu saja sudah setahun tak kunjung dibayarkan oleh Bumiputera.
Dan sebenarnya, kalau hanya duit Nanton yang mampet, Suprojo enggak pesimis. Tapi pembayaran yang mampet juga sudah dialami oleh anggota KUD lainnya, persis sejak setahun lalu.
“Kami kan masuk asuransi tiga tahap. Yang tahap satu, kontraknya sudah habis pada 31 Desember 2018. Dari sekitar Rp4,5 miliar yang musti dibayarkan Bumiputra, masih tersisa Rp2,8 miliar, belum dibayarkan,” rinci Suprojo.
Gara-gara kedengaran mampet itulah kata Suprojo, peserta tahap tiga tak mau lagi duitnya dipotong perusahaan untuk membayar iuran asuransi itu.
Dibilang dipotong perusahaan lantaran mereka transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) kelapa sawit yang menjadi plasmanya perusahaan kelapa sawit, PT Sinar Mas.
Mereka masuk asuransi kumpulan (askum) yang sejak awal masuk asuransi, pembayaran premi langsung dipotong perusahaan dari hasil Tandan Buah Segar (TBS) petani plasma.
“Perusahaanlah yang membayarkan premi itu ke Bumiputera. Jadi kami enggak pernah telat bayar. Tapi setelah mendengar pembayaran klaim dari Bumiputra macet, yang tahap tiga minta ke perusahaan untuk menghentikan pembayaran sejak Mei lalu,” terangnya.
Dari penelusuran Gatra.com, plasma PT Sinar Mas yang bermasalah dengan Bumiputera ternyata tidak hanya Tri Manunggal Abadi, tapi merembet ke-14 Satuan Pemukiman (SP) di tiga plasma; Kijang Plasma, Amartha Plasma dan Sei Tapung Plasma.
Semuanya berada di kawasan Tapung Raya Kabupaten Kampar. KUD Tri Manunggal Abadi sendiri tercatat sebagai SP8.
Dari total tabungan 6.378 peserta yang mencapai Rp94,3 miliar, yang belum dibayarkan oleh Bumiputera masih mencapai Rp49 miliar. Duit itu milik sekitar 3.358 peserta lagi.
Masih dari penelusuran Gatra.com, dari semua peserta tadi, sebenarnya ada 37 peserta yang sudah meninggal pada rentang waktu 2018-2019.
Namun sampai sekarang santunan meninggalnya belum dibayarkan meski semuanya sudah mendapat persetujuan bayar dari kantor cabang Bumiputera Pekanbaru, di rentang tahun tadi.
“Anggota kami bernama Achmadi meninggal pada 22 Januari 2018. Tapi sampai sekarang santunannya belum dibayarkan meski sudah ada persetujuan bayar,” cerita Sugeng Haryadi, Ketua Kopsa Mukti Lestari Desa Kayu Aro (SP5) Kecamatan Kampar Utara.
Sepanjang pembayaran mampet, Suprojo mengaku kalau pihaknya sudah melayangkan surat kepada sederet instansi, bahkan ke DPR RI hingga staf presiden.
Dari semua surat itu, hanya DPR RI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru merespon surat mereka dengan jawaban standar.
Sementara dengan pihak Bumiputra sendiri kata Suprojo, pihaknya sudah beberapa kali berkomunikasi dan bertemu, terakhir dengan Kepala Departemen Korporasi dan Pengembangan Bisnis AJB Bumiputra 1912, Niken Pratitis.
Dalam pertemuan itu kata Projo, didapat kesepakatan jadwal pembayaran. “Tapi belakangan kami tanya, jawabnya masih dikondisikan dengan pihak terkait,” ujar Suprojo.
Sekarang, lelaki ini sudah tak tahu harus bilang apa. Di satu sisi, gara-gara sibuk mengurusi asuransi ini, dia sudah merogoh kocek hingga Rp60 juta untuk biaya-biaya perjalanan.
Di sisi lain, anggotanya sudah semakin tak percaya kepada pengurus KUD. “Banyak yang beranggapan kalau duit itu sudah kami terima dan kami main-mainkan,” suara lelaki ini lirih.
Niken sendiri tak panjang menanggapi sederet pertanyaan yang dilayangkan Gatra.com kepadanya melalui pesan whatsapp kemarin.
Pertanyaan itu baru dijawab hari ini. Berikut petikan jawaban itu; AJB Bumiputra 1912 saat ini kesulitan liquiditas. Saat ini kebijakan direksi melakukan pembayaran klaim sesuai quota setoran premi kantor cabang.
Sehingga klaim yang semula sudah dijadwalkan, belum dapat dipenuhi. Tapi direksi sedang mengajukan rencana perbaikan keuangan perusahaan ke OJK. Diantaranya ada optimalisasi aset.
Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
[ad_2]
Sumber Berita