[ad_1]
KPP terdiri dari IJRS, YLBHI, ELSAM, PBHI, LBH Masyarakat, PIL-Net, dan ICEL menyampaikan, larangan yang dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agun (Perma) No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, terdapat hal yang menjadi sorotan, yaitu pengaturan pada Pasal 4 Ayat (6).
KPP menyatakan bahwa pelarangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tersebut bisa relevan kalau ketua atau anggota majelis hakim terganggu dengan keberadaan wartawan. Dengan demikian, itu harusnya bukan berbasis izin.
MA melalui Peraturan MA (Perma) No. 5 Tahun 2020 yang menjadi sorotan, yaitu pengaturan pada Pasal 4 Ayat (6). Pasal tersebut menyebutkan, Pengambilan foto, rekaman audio, dan atau rekaman audio visual harus seizin hakim atau ketua majelis hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Kebijakan ini pernah diatur MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020. Dalam surat edaran tersebut, diatur ketentuan yang menyatakan bahwa Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
“Larangan ini akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu, perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada hakim atau ketua majelis hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri,” katanya.
KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio, dan atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh MA, khususnya dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan.
Bahwa izin dari hakim atau ketua majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang, termasuk media massa atau jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu, tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan. Izin baru tepat dilakukan apabila hakim atau majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang.
Koalisi memandang prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum.
Koalisi juga menyampaikan, ketika aturan ini diberlakukan, maka MA harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung, baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual.
“Sekedar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum,” ujarnya.
Koalisi juga mengingatkan bahwa larangan ini juga berdampak terhadap kerja-kerja advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal.
Selain itu, larangan ini juga akan berdampak bagi kerja-kerja teman-teman pemberi bantuan hukum yang seringkali mengalami hambatan untuk mendapatkan akses keadilan di persidangan.
“Secara lebih luas, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Koalisi memahami bahwa diperlukan ketenangan bagi Majelis Hakim yang menyidangkan perkara untuk dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan sangat hati–hati.
Namun melihat ada cara lain yang dapat diberlakukan untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari memfoto, merekam, dan meliput persidangan.
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita