#  

Pakar: Yang Terlanjur Itu Pemerintah, Bukan Rakyat

[ad_1]

Jakarta, Gatra.com – Kalaulah para penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Usaha Perkebunan itu melek dengan apa yang dibilang para pakar di webinar Focus Group Discussion (FDG) yang digelar oleh LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB) Selasa  (22/12), bisa jadi pengesahan RPP turunan Undang-Undang Cipta Kerja ini ditunda sampai apa yang dibilang para pakar itu benar-benar diberesi. 

Sebab di webinar serap aspirasi publik terkait RPP itu, semua borok terkait perhutanan dan tata ruang dibuka lebar-lebar. 

Tim serap aspirasi, Prof. Budi Mulyanto yang menjadi host dalam webinar itu malah terang-terangan menyebut bahwa yang terlanjur itu pemerintah, bukan rakyat, rakyat dalam konteks petani sawit tidak salah.

Omongan semacam itu dilontarkan oleh Pakar Mikorpedologi IPB ini setelah Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Prof. Sigit Hardwinarto menyebut bahwa ada 3,3 juta hektar sawit terlanjur masuk dalam kawasan hutan. 

“Keterlanjuran itu tidak semua ilegal. Bisa saja legal dan bisa pula ilegal. Sebab ada perbedaan yang terjadi pada tata ruang,” katanya.

Lantas keberadaan masyarakat terkait kawasan hutan kata Sigit, belum bisa diselesaikan secara optimal lantaran sebelum-sebelumnya, beberapa undang-undang belum mengatur secara tegas.

Belum ada penjelasan yang pasti kenapa Sigit sampai bilang begitu. Sebab Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan yang menjadi turunan dari Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan justru sudah lebih dari cukup menjadi landasan untuk pemisahan antara hak Negara dan masyarakat. Tengok sajalah dari pasal 1 hingga pasal 20 Undang-Undang itu.

Belum lagi Peraturan Menteri Kehutanan nomor 44 tahun 2012 tentang pengukuhan kawasan hutan, di sana jelas diatur semuanya, termasuk urusan tanah adat yang sudah dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012.

Hanya saja semua aturan main itu tidak  dijalankan. Yang ada justru memunculkan bahasa keterlanjuran dan yang terlanjur didenda.

Alhasil, Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki), DR. Petrus Gunarso mempertanyakan berapa persen sebenarnya hutan di Indonesia yang sudah dikukuhkan dan sudah dinyatakan sebagai hutan tetap.

“Mestinya mulainya harus dari sini. Itu kalau kita mau jujur untuk menerapkan sanksi administrasi. Tapi yang saya tengok, kehutanan-ATR/BPN dan Kehutanan-Lingkungan Hidup, belum duduk. Begitu juga Kehutanan dengan Pemerintah Daerah, saya melihatnya masih ‘Ewo Pakewoh’,” katanya. 

Hal lain yang membikin urusan kawasan hutan menjadi semakin kacau, Kepala Pusat Kajian Pengembangan dan Penataan Ruang (PKP2R) Universitas Mulawarman, DR. Zulkarnain menyebut bahwa penetapan kawasan hutan semestinya berdasarkan tata ruang dari pemerintah daerah.

Hanya saja, ketika pemerintah daerah akan menetapkan tata ruang, diintervensi pusat pula. “Padahal yang tahu tata ruang daerah ya pemerintah daerahnya, kok pusat pula yang mengintervensi? Kehutanan jangan jadi negara dalam negaralah,” pintanya.

Lalu Doddy Imron Chalid, salah seorang yang ikut dalam webinar itu bilang bahwa menteri kehutanan punya kewenangan mendeliniasi kawasan hutan, makanya kawasan hutan sering berubah.

“Kalau kewenangan itu masih ada di RPP, sampai monyet bisa mengaji, masalah enggak akan selesai,” tegasnya.    

Oleh sederet keserampangan soal kehutanan tadilah makanya kemudian kata Petrus, “Jika RPP ini belum akan atau bahkan tidak akan (kalau tidak ada perubahan) menyelesaikan masalah di hulu (kehutanan dan pertanahan) yang ditengarai sebagai penyebab ketidakpastian, biaya tinggi, korupsi dan permainan politik dalam memperbaiki ekosistem investasi, untuk apa RPP ini?” katanya saat didapuk jadi pembicara.

Dan Petrus sendiri nampaknya tak mau berlama-lama menunggu RPP itu kelar. “Solusi jangka pendek sudah kami sampaikan ke presiden. Pertama menyelesaikan persoalan yang 3,4 juta hektar tadi secepatnya. Sebab kalau itu kelar, otomatis lapangan pekerjaan kian terbuka dan penghasilan negara meningkat,” katanya.

Lalu yang kedua, lakukan tata ruang kesepakatan yang terbuka, jujur dan berbasis data hasil inventarisasi eksisting terbaru. “Harus ada kolaborasi antara kehutanan, ATR/BPN dan semua stakeholder,” pintanya.

Terus, kepastian atas investasi rakyat musti diberikan. Sebab kalau dihitung-hitung, ongkos membikin kebun yang 3,4 juta hektar tadi saja, sudah mencapai Rp 170 triliun.

“Ngapain kita susah-susah mencari investor jauh-jauh sementara investasi petani kita tidak kita hitung. Kalau yang 3,4 juta hektar itu beres, ATR BPN yang ditugasi menyiapkan 4 juta hektar lahan untuk energi terbarukan sampai 2030, tinggal menambah 600 ribu hektar lagi, clear” tegasnya.

Lepas webinar itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Medali Emas Manurung meminta supaya otoritas kehutanan jangan sesekali mengatakan petani dalam kawasan hutan itu ilegal.

Sebab kalau mereka dibilang ilegal, “Berarti duit yang kami sumbang untuk negara juga ilegal,” tegasnya.

Mestinya kata lelaki 48 tahun ini, petani sawit ditolong, sebab yang semacam itu sudah berkali-kali dibilang Presiden Jokowi khususnya saat acara penanaman perdana PSR.

“Tengok itu petani banyak yang terganjal ikut PSR. Kalau 52 bulan lagi masalah sawit petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan tidak diclearkan, akan ‘terbunuh’ lah oleh Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Saya yakin, Presiden Jokowi tidak mau yang kayak begini, kami minta para perancang RPP jangan salah menterjemahkan keinginan presiden, fatal nanti bagi 21 juta petani sawit,” tegasnya.


Abdul Aziz


Editor: Abdul Aziz


[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *