Ada Sembilan Pola Gangguan dalam Peretasan Aktivis ICW

[ad_1]

TEMPO.CO, Jakarta – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut ada sembilan pola peretasan atau gangguan yang terjadi saat mereka melaksanakan konferensi pers bersama eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, 17 Mei 2021. Konferensi pers daring itu dilakukan lewat ruangan Zoom yang dikhususkan bagi para pembicara dan panitia.

“Sepanjang jalannya konferensi pers, setidaknya ada sembilan pola peretasan atau gangguan yang dialami,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah dalam keterangan tertulis, Senin, 17 Mei 2021.

Pola pertama adalah menggunakan nama para pembicara untuk masuk ke media Zoom. Kedua, menggunakan nama para staf ICW untuk masuk ke media zoom. Pola selanjutnya, adalah dengan menunjukkan foto dan video porno di dalam ruangan zoom. Keempat, mematikan mic dan video para pembicara.

Kelima, terjadi pembajakan akun ojek daring Nisa Rizkiah, salah satu anggota ICW, dengan cara order fiktif puluhan kali. Wana menduga itu adalah upaya mengganggu konsentrasi Nisa, yang merupakan moderator acara.

“Keenam, mengambil alih akun WhatsApp kurang lebih 8 orang staf ICW. Sebagian nomor ada yang di-take over, sebagian sudah berhasil dipulihkan, sedangkan beberapa orang lainnya mengalami percobaan,” kata Wana.

Ketujuh, Wana juga mengatakan beberapa orang yang nomor WhatsApp-nya diretas sempat mendapatkan telepon masuk menggunakan nomor luar negeri (Amerika Serikat) dan juga puluhan kali dari nomor asal provider Telkomsel. Kedelapan, percobaan mengambil alih akun Telegram dan e-mail beberapa staf ICW. Namun, Wana mengatakan upaya pengambilalihan ini gagal.

“Sembilan, tautan yang diberikan kepada pembicara Abraham Samad tidak dapat diakses tanpa alasan yang jelas,” kata Wana.

Ia mengatakan bahwa upaya pembajakan ini bukan kali pertama terjadi pada aktivis masyarakat sipil. Sebelumnya hal serupa pernah terjadi pada kontroversi proses pemilihan Pimpinan KPK, revisi UU KPK tahun 2019, UU Minerba, serta UU Cipta Kerja praktek ini pernah terjadi.

ICW menduga ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi. Ia pun menegaskan pembungkaman suara kritis warga melalui serangan digital merupakan cara baru yang anti demokrasi.

“Maka dari itu, kami mengecam segala tindakan-tindakan itu dan mendesak agar penegak hukum menelusuri serta menindak pihak yang ingin berusaha untuk membatasi suara kritis warga negara,” kata Wana.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *