23 Tahun Reformasi, Amnesty International Anggap Demokrasi Indonesia Mundur

[ad_1]

TEMPO.CO, Jakarta – Menginjak 23 tahun reformasi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai kondisi demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran atau regresi. Kemunduran itu, ujar dia, datang dari dua arah sekaligus, yakni di tingkat negara dan elite (atas) dan di level masyarakat (bawah).

Kemunduran demokrasi dari level atas, kata Usman, tercermin dari kebijakan pemerintah yang mempersempit ruang kebebasan sipil (iliberal). “Mulai dari kriminalisasi dengan menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE hingga serangan digital terhadap pengkritik pemerintah,” kata Usman dalam diskusi daring, Ahad, 23 Mei 2021.

Amnesty mencatat sepanjang 2020 setidaknya terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE. Totalnya 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis. Sementara hingga Mei 2021, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 24 kasus serupa dengan total 30 korban.

Sepanjang 2020, Amnesty juga mencatat setidaknya ada 66 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 86 korban, termasuk di antaranya 30 aktivis dan 19 akademisi. Sedangkan di 2021, Amnesty mencatat sudah ada setidaknya 14 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 26 korban, dengan korban tertinggi, yaitu 12 orang, adalah aktivis.

Kejadian terbaru dialami aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, dan tokoh-tokoh lain yang mengkritik tes wawasan kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk di antaranya mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, mantan juru bicara KPK Febri Diansyah, dan penyidik KPK Novel Baswedan.

Usman mengingatkan pemerintah lebih serius melindungi hak-hak sipil yang diperjuangkan pada awal reformasi, termasuk hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat.

“Pemerintah harus menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan visi reformasi dengan menginvestigasi kasus-kasus seperti ini dan melindungi hak warga untuk mengutarakan pendapatnya secara damai, sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pandangan pemerintah,” kata Usman Hamid.

Sementara itu, gejala regresi demokrasi dari tingkat bawah atau masyarakat, lanjut Usman, terjadi dengan menguatnya gerakan main hakim sendiri atau vigilantisme berbasis agama.

“Dan juga bentuk-bentuk diskriminasi terhadap minoritas agama dan minoritas orientasi seksual. Ada juga pandangan dan perilaku sebagian masyarakat sipil yang menerapkan pluralisme represif untuk membenarkan pembubaran organisasi massa tanpa pengadilan,” ujarnya.




 


 

Lihat Juga





















[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *