Ini Delapan Poin Laporan Pegawai KPK ke Komnas HAM Perihal TWK

[ad_1]

TEMPO.CO, JakartaKomnas HAM menerima laporan dari pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinonaktifkan pasca tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK), Senin, 24 Mei 2021, di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat. Dalam laporan itu, setidaknya ada delapan hal yang dinilai sebagai bentuk dugaan pelanggaran HAM.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati yang datang mendampingi para pegawai KPK, mengatakan dugaan pelanggaran pertama adalah pembatasan terhadap HAM yang tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan di TWK tersebut.

“Pertanyaan yang sudah beredar di media itu terkait dengan pikiran, dan pikiran itu dalam hak asasi manusia tak bisa dibatasi sama sekali,” kata Asfinawati usai menyerahkan laporan.

Kedua, adalah dugaan adanya pelanggaran terkait hak atas perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. Asfinawati mengatakan hal ini terlihat saat adanya pegawai lain yang lulus, meski jawaban yang diberikan sama dengan yang tak lulus. Hal ini membuat Asfinawati menyebut dasar penilaian lulus tidaknya pegawai, bukan dari TWK.

Dugaan pelanggaran ketiga, adalah pelanggaran terhadap hak berserikat dan berkumpul. Asfin menyoroti sikap Wadah Pegawai (WP) KPK yang sejak 2019 seperti menjadi target pemberangusan, karena aktif berbicara untuk menolak Revisi UU KPK dan sikap kritis lainnya. Hal ini membuat kebanyakan dari pengurus harian KPK dinyatakan tak lulus tes.

Selain itu, ada juga dugaaan pelanggaran terhadap pembela HAM. Dalam hal ini, salah satu pegawai KPK yang ikut tak lolos adalah penyidik senior Novel Baswedan. Novel dinilai merupakan pembela HAM pasca serangan air keras yang menimpanya beberapa tahun silam.

Dugaan selanjutnya, adalah, pelanggaran terhadap hubungan yang adil dalam pekerjaan. “Mereka ini dinonaktifkan, tapi tak jelas dasar hukumnya apa, hak dan kewajibannya apa,” kata Asfinawati.

Dugaan keenam adalah diskriminasi terhadap perempuan. Asfinawati mengingatkan Indonesia sudah meratifikasi konvensi penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tahun 1984. Juga ada perlindungan terhadap hak perempuan di dalam konstitusi.

“Banyak pertanyaan-pertanyaan (di TWK) yang bersifat pelecehan seksual dan ada pegawai perempuan KPK yang sampai menangis di dalam tes itu, karena dikejar soal persoalan personal yang saya yakin teman-teman tahu apa pertanyaan itu, yang seksis dan bersifat diskriminatif,” kata Asfinawati.

Dugaan pelanggaran HAM selanjutnya adalah adanya stigma terhadap pegawai yang tak lulus. Asfin menyebut hal ini berpotensi mempengaruhi kehidupan sosial, pendidikan keluarga, dan pekerjaan para pegawai ke depannya. Bahkan stigma ini dalam kondisi ekstrem bisa mempertaruhkan nyawa.

Asfinawati mengatakan dugaan pelanggaran terakhir adalah adanya tendensi yang sangat kuat adanya pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat. Dari 75 pegawai yang dinonaktifkan, Asfinawati mengatakan banyak di antaranya adalah sosok yang kritis. Ada yang pernah menandatangani petisi menolak Ketua KPK Firli Bahuri karena diduga melanggar etik. Ada juga yang terdaftar jadi pemohon judicial review dalam revisi UU KPK.

Padahal, Asfinawati mengingatkan etika untuk pegawai KPK ini berbeda dengan kepegawaian pada umumnya. Yang utama bagi mereka, bukan yang menurut terhadap atasan, tapi keutamaan sebagai pegawai KPK adalah mampu memberantas korupsi dengan menjaga independesi.

“Karena itu perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dan bahkan diperbolehkan dalam kode etik. Dan TWK ini persis menyerang hal tersebut dan karena itu ada kaitan erat dengan pelemahan pemberantasan korupsi,” kata Asfinawati.



[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *