#  

TIRAS.id

[ad_1]

Itu yang ditulis Karnoto Mohamad

BIRO Riset Infobank mencatat, ada dua isu penting dari dampak pandemi COVID-19 yang memukul perekonomian dalam negeri.

Satu, membesarnya angka pengangguran yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi penambahan 1,82 juta orang dalam kurun waktu setahun menjadi 8,75 juta orang pada Februari 2021.

Itu baru pengangguran terbuka di sektor informal. Belum termasuk 7 juta penganguran baru dari sektor informal akibat kebangkrutan 34 juta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Banyaknya orang yang kehilangan mata pencaharian ini memperlemah daya beli atau belanja masyarakat yang kontribusinya mencapai 56% terhadap produk domestik bruto.

Alhasil, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 terkontraksi 2,19% dan ekonomi Indonesia kuartal satu masih minus 0,74%.

Dua, membesarnya kredit tak tertagih akan mempengaruhi neraca bank sebagai lembaga kreditur utama sehingga kemampuannya dalam mengucurkan kredir akan menurun.

Ingat krisis moneter 1997/1998 meletus salah satunya karena menggunungnya kredit tak tertagih. Sekarang, kendati didorong-dorong dengan berbagai stimulus moneter dan macroprudential, perbankan sangat berhati-hati mengucurkan kreditnya sebab risiko kredit tak tertagih makin besar.

Itu terindikasi dari loan at risk (LAR) yang meningkat dari 11,98% pada 2018, 12,93% pada 2019, 22,65% pada 2020, dan 23,71% per Februari 2021.

Lembaga perbankan dan multifinance berusaha keras bagaimana menjaga kualitas aset produktifnya. Sambil mencermati perkembangan restrukturisasi kredit yang terdampak pandemic COVID-19, bank-bank yang tidak mau diguyur hujan non perfoming loan (NPL) pun berusaha “mengejar” debitur-debitur yang kreditnya nunggak.

Begitu juga perusahaan-perusahaan multifinance yang “memburu” nasabahnya yang sudah tiga bulan tidak membayar angsuran.

Untuk debitur yang sudah nunggak 90 hari lebih, lembaga perbankan maupun pembiayaan biasa menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan penagihan maupun eksekusi aset jaminan bagi debitur yang sudah menyatakan tidak sanggup melaksanakan kewajibannya.

Potensi duit yang bisa ditagih oleh debt collector sangat besar. Indikatornya adalah potensi kredit maupun pembiayaan tak tertagih yang membesar karena adanya pandemic COVID-19.

Menurut perhitungan Biro Riset Infobank per Maret 2021, potensi kredit atau pembiayaan tak tertagih mencapai Rp484,39 triliun.

Angka itu berasal dari perbankan sebesar Rp257,19 triliun yang dihitung dari jumlah NPL sebesar Rp173,77 triliun ditambah dengan asumsi 20% dari LAR yang besarnya Rp1.285,12 triliun yang diperkirakan jatuh menjadi NPL.

Lalu ditambah Rp53,60 triliun dari industri multifinance yang dihitung dari non performing financing (NPF) sebesar Rp14 triliun ditambah dengan asumsi 20% dari pembiayaan yang direstruktusasi sebesar 198,27 triliun yang diperkirakan jatuh menjadi NPF.

Dari potensi pinjaman tak tertagih sebesar Rp484,39 triiun tersebut, debt collector berpeluang memetik komisi sebagai pendapatannya sebesar Rp12,11 triliun hingga Rp48,44 triliun dengan asumsi bisa menagih semua.

Jika ambil rata-ratanya 6%-7%, maka komisi yang menjadi pendapatan debt collector di kisaran Rp30 triliun dan kalaupun yang berhasil ditagih hanya 10% saja maka komisi yang bisa diperoleh sebesar Rp3 triliun.

Bukan angka yang kecil tentunya. Jadi, potensi bisnis jasa penagihan kredit sesungguhnya sangat menarik, apalagi outstanding kredit perbankan maupun pembiayaan multifinance akan kembali tumbuh positif di mana selalu ada saja yang sulit ditagih dan membutuhkan peran debt collector.

Menurut Peraturan OJK Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, perusahaan Pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur yang wanprestasi paling sedikit dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian pembiayaan.

Adapun debt collector yang melakukan penagihan harus sesuai prosedur yang sudah ditetapkan dan mereka harus bernaung dalam satu badan hukum yang memiliki izin dan debt collector wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari PT Sertifikasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia.

Tapi tak semua orang bisa menjalankan pekerjaan sebagai debt collector. Selain mengerti proses asset recovery, perlu nyali dan keberanian.

Sebab, meskipun peraturannya sudah jelas namun pelaksanaan hukumnya tidak jelas. Ketika proses eksekusi jaminan fidusia dilaksanakan secara alot sampai harus meminta bantuan kepolisian sebagai penengah, namun posisi debt collector cenderung dipojokkan.

Padahal,  prosedur sudah dilakukan dan surat dokumen lengkap serta bukti debitur menyatakan wanprestasi sebagai syarat eksekusi jaminan fidusia yang dipegang debitur.

Yang lebih sulit lagi ketika debitur sampai melibatkan organisasi masssa (ormas) sehingga berisiko terjadi benturan yang seringkali debt collector pada posisi yang disalahkan.

Apalagi, seperti dikatakan sumber Infobank, oknum account officer ada yang bermain mata dengan debitur agar masing-masing kepentingannya.

Kepentingan account officer adalah penjualan untuk mencapai target. Kepentingan debitur adalah mendapatkan pembiayaan. Mereka sudah mengkalkulasi akan macet di tengah jalan sehingga oknum account officer sudah merekomendasikan ormas yang akan melindungi debitur jika didatangi debt collector.

Malangnya, debt collector sendiri sering menjadi bulan-bulanan pihak debitur yang macet meskipun sudah bersertifikasi dan mengantongi surat tugas lengkap dengan dokumen lain seperti surat somasi dan sertifikat fidusia.

Bahkan, ketika debitur nakal melawan atau berusaha memposisikan sebagai korban, aparat hukum acapkali menyudutkan debt collector yang terlanjur memiliki citra miring sebagai sosok yang menakutkan.

Di tengah pandemi COVID-19 yang diiringi dengan membesarkan tunggakan kredit sulit ditagih yang seharusnya menjadi berkah mereka, para debt collector pun justru merasakan periode yang sangat pahit.

Kalau memang ada debt collector yang melakukan pekerjaan melanggar prosedur apalagi memperlakukan debitur secara kasar, semua pihak setuju untuk ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Namun, eksekusi oleh debt collector terhadap asset jaminan fidusia yang dipegang debitur kemudian menimbulkan perselisihan yang berujung keramaian, perlu dilihat bagaimana kronologinya. Apakah debitur bisa diajak bekerjasama dan bagaimana prosedur yang dijalankan debt collector apakah sudah sesuai aturan yang berlaku.

Jadi posisi debt collector harus dilihat secara proporsional. Sebagai credit collection support, penyedia jasa penagihan utang adalah bagian dari ekosisten industri keuangan yang perannya sangat dibutuhkan industri perbankan dan multifinance.

Perlu dicatat, jutaan mobil dan sepeda motor dibeli masyarakat lewat cara kredit. Sebanyak 97% debitur itu berstatus lancar. Dari 3% yang wanprestasi dan asset recovery-nya dilakukan debt collector, hanya sebagian kecil saja yang tidak kooperatif sampai harus berbenturan dengan debt collector.

Sebagai profesi halal, debt collector yang mengantongi sertifikasi tidak selayaknya diperlakukan diskriminatif saat menjalankan pekerjaannya yang sesuai prosedur yang berlaku.

Umumnya mereka tidak memiliki pendidikan yang tinggi dan berusaha mencari pekerjaan yang halal. Hampir pasti tidak ada orang yang bercita-cita menjadi debt collector sementara mencari pekerjaan halal sebelum pandemi COVID-19 saja tidak mudah, apalagi sekarang.

Profesi juru tagih atau debt collector juga membayar pajak sama seperti halnya lembaga keuangan atau perusahaan penyedia jasa penagihan yang menaunginya.

Debt collector menerima komisi atau success fee setelah dipotong 12% sebagai pajak PPH dan PPN. Pemerintah yang selama ini sulit menciptakan lapangan kerja secara luas kepada masyarakat sudah seharusnya melindungi semua profesi apalagi membayar pajak dan pekerjaannya ada aturannya.

Jangan malah memandang debt collector sebelah mata, apalagi memusuhi dan di sisi lain “membela” pengemplang utang.

Motivasi para juru tagih utang hanya ingin mendapatkan pekerjaan halal sesuai skill yang dimiliki namun mereka tidak terserap di dunia kerja yang penyediaanya terbatas karena pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah mencapai mencapai 7% sejak reformasi.

Klik ini Liputan Majalah MATRA tentang Debtcolector: Debt Collector Masih Ada di Masa Covid

 

[ad_2]

Sumber Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *