[ad_1]
Ke depan profesi advokat rentan dan berpotensi masuk penjara hanya gara-gara membela kliennya. Ancaman ini muncul setelah dalam Rancangan Undang-Undang Kitab (RUU) Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal 282 mengandung frasa pengacara bisa dipidana saat mendampingi klien jika berlaku curang.
Berikut bunyi lengkapnya pasal 282 RUU-KUHP : ‘Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang’.
a. Mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
b. Mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.
Menanggapi draft redaksi materi pasal 282 RUU KUHP, Komisi Pengawas DPN PERADI Maria Salikin menyatakan merasa prihatin dengan Profesi Advokat ke depannya.
Alasan Maria, soal prilaku profesi advokat sudah diatur secara ketat dalam kode etik dan perilaku advokat.
“Dalam menjalankan profesinya, advokat sudah diatur dalam UU Advokat Nomor 18 tahun 2003, termasuk perilaku, kode etik dan itikad baik dalam menjalankan tugas profesinya” ujar Maria Salikin dalam perbincangan di kantor ‘Maria Salikin Law Firm’ Jl. Aipda KS. Tubun No. 134, Jakarta, Kamis (10/6/2021)
Sebagai profesi yang mulia (officium nobile) sebutan ini tidak datang dan melekat dengan sendirinya pada advokat.
“Tentunya dengan pasal yang secara tidak langsung telah mengkriminalisasi profesi advokat maka advokat bukan lagi menjadi profesi yang mulia tetapi profesi yang berpotensi untuk menjadi criminal dalam penerapan hukum sehingga jelas itu tidak adil bagi para advokat,” paparnya.
Maria Salikin menegaskan bahwa pasal 15 UU 8/2003 Advokat sudah jelas mengatur bahwa Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Advokat dalam menjalankan kewajibannya tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat secara perdata (imunitas).
Sebagaimana pasal 16 UU Advokat Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi No: 26/PUU-XI/2013 yang bunyinya, Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
“Hal ini justru akan memunculkan dua Undang-Undang yang tumpang tindih dan overlaping, sangat multitafsir, sehingga pasal ini sangat bertentangan dengan asas Lex certa (rumusan delik pidana harus jelas) dan Lex stricta (rumusan delik pidana harus tegas tanpa ada analogi),” tuturnya.
Selain multi tafsir, menurut Maria Salikin, pasal 282 RUU KUHP ini sangat berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu atau lawan perkara untuk mengkriminalisasi profesi Advokat karena pasal tersebut multi tafsir dan rentan disalahgunakan lawan untuk mempidanakan profesi advokat jika ia kalah dalam perkara.
Khususnya huruf a, yang dimaksud tidak mematuhi perintah pengadilan dan penetapan pengadilan dapat menjadi ruang untuk mengkriminalisasi Advokat padahal profesi advokat mempunyai kewajiban.
Maria Salikin mendesak kepada perancang RUU KUHP untuk meniadakan pasal 282 ini agar ke depan tidak muncul preseden buruk.
“Pasal ini harus segera dihapus karena sangat mengancam tugas advokat yang sedang menjalankan kewajiban profesi,” tambahnya.
Karena menurut Maria, seharusnya Advokat sebagai Penegak Hukum harus setara dengan penegak hukum lainnya.
Dalam UU Advokat No. 18 tahun 2003 Pasal 5 sangat jelas, kata Maria, “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”.
Maka, kedudukan advokat adalah setara atau sederajat dengan aparat penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa, Hakim), maka materi pasal 282 RUU KUHP sangatlah merendahkan profesi advokat.
Di mana hal itu seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah pada khususnya, dengan memperhatikan pula hak dan kewajiban Advokat untuk melaksanakan tugas dalam mencari keadilan bagi masyarakat pencari keadilan,” tegas Maria.
Selain itu juga muncul Pasal 281 dalam RUU KUHP yang mengatur bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, jika:
a. Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Draft redaksi pasal 281 RUU KUHP ini bertolak belakang dengan Pasal 14 UU Advokat Nomor 18 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
baca juga: majalah MATRA edisi cetak terbaru (klik ini)
Maria Salikin mendesak kepada perancang RUU KUHP untuk meniadakan pasal 282 ini agar ke depan tidak muncul preseden buruk.
[ad_2]
Sumber Berita