Yogyakarta, Gatra.com– Jaringan masyarakat sipil di Yogyakarta menggelar sejumlah agenda sebagai bentuk penolakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dinilai tak sakti lagi di Hari Lahir Pancasila ini.
Acara itu juga bagian dari protes terhadap pelantikan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) pada Selasa (1/6) ini, tepat di peringatan Hari Lahir Pancasila. Melalui kegiatan ini, publik diajak menjaga sikap antikorupsi dan melawan pelemahan KPK.
“Partisipasi publik penting untuk mendorong pemegang kekuasaan memperbaiki jalan pemberantasan korupsi,” kata Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, dalam pernyataan tertulis, Senin (31/5).
Serangkaian acara itu berupa diskusi, pentas musik, dan pameran seni di warung teh Umran atau Wikiti di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 1-18 Juni 2021.
Selain Pukat UGM, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Connecting Design Studio, Koperasi Edukarya Negeri Lestari, dan Potluck Studio berkolaborasi menggagas kegiatan tersebut.
Diskusi menghadirkan Direktur Direktorat Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko, Ketua Pukat UGM Totok Dwi Diantoro, Aktivis Perempuan Indonesia Antikorupsi Wasingatu Zakiah, dan Direktur Biennale Yogyakarta Alia Swastika.
Selain diskusi, kelompok musik Efek Rumah Kaca yang lagu-lagunya kental dengan kritik sosial akan tampil. Ada juga penampilan kelompok musik indie lainnya. Untuk mendukung kampanye penolakan pelemahan KPK, dipamerkan pula 55 poster seni dalam pameran ‘Berani Jujur Pecat’.
Pameran seni akan ditutup diskusi dengan narasumber mantan pimpinan KPK Saut Situmorang, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto, dosen Sanata Dharma St. Sunardi, dan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Allisa Wahid.
Serangkaian agenda ini menyuarakan perlawanan terhadap pelemahan KPK. “Pelemahan KPK tergambar melalui tes wawasan kebangsaan terhadap 75 pegawai KPK. Tes yang bernada seksis, diskriminatif, dan dengan pelabelan radikalisme ini menyingkirkan pegawai berintegritas,” tutur Totok.
Ia menjelaskan, pertanyaan diskriminatif itu misalnya tentang Partai Komunis Indonesia (PKI), pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), serta soal doa qunut. Ada juga pertanyaan alasan belum menikah, aktivitas saat pacaran, dan soal Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT.
“Tes itu mengingatkan orang pada kekuasaan pemerintahan Orde Baru, misalnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan proses penelitian khusus. Pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK menunjukkan sinyal kuat,” kata Totok.
Pegiat antikorupsi mengkritik KPK tidak lagi memiliki taring yang kuat untuk melawan praktek tindak pidana korupsi sejak pengesahan Revisi Undang-Undang KPK. Tahun 2019 menjadi titik balik KPK tak lagi bertaji memberantas korupsi.
“Proses pemilihan pimpinan KPK yang punya rekam jejak bermasalah membuka jalan KPK makin lemah. Ketua KPK, Komisaris Jenderal Firli Bahuri memiliki beberapa catatan buruk. Firli diduga terlibat dalam kasus suap saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 2019,” papar Totok.
Menurutnya, Firli juga terbukti melanggar etik dengan bergaya hidup mewah ketika pulang kampung ke Baturaja, Sumatera Selatan menggunakan helikopter. “Tapi, Dewan Pengawas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis,” kata Totok.
Selain itu, proses revisi UU KPK dinilai tertutup, tergesa- gesa, dan mengabaikan partisipasi publik. “Kekacauan revisi UU KPK semakin bertambah parah dengan munculnya pasal-pasal yang melemahkan KPK dari sisi kelembagaan maupun kewenangan menegakkan hukum tindak pidana korupsi,” ujar Totok.
KPK dinilai juga minim prestasi dalam menangani kasus korupsi. Transparency International Indonesia merilis Indeks persepsi korupsi IPK Indonesia pada 2020. Skornya turun dari 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020.
Penanganan perkara korupsi KPK setahun terakhir juga disebut tak memuaskan. Jumlah operasi tangkap tangan KPK pada masa pimpinan menurun drastis.
“Dari sisi kualitas, KPK luput menuntaskan kasus korupsi skala besar, misalnya dalam korupsi yang melibatkan suap komisioner KPU, benih lobster, dan bantuan sosial Covid-19. KPK bahkan menghentikan kasus korupsi BLBI yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar,” kata Totok.
Dengan berbagai kondisi itu, aktivis antikorupsi Yogyakarta menilai KPK tak lagi sakti di Hari Lahir Pancasila ini.