Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam keras tindakan memalukan dan tidak pantas atas penayangan sinetron “Mega Series Suara Hati Istri: Zahra” yang mempertontonkan eks pemeran Zahra (LCF), seorang aktris anak (15 tahun), sebagai karakter berusia 17 tahun yang menjadi istri ketiga dari lelaki berusia 39 tahun.
Untuk diketahui, usia pernikahan legal di Indonesia adalah 19 tahun untuk perempuan maupun laki-laki sesuai Undang-Undang (UU) Perkawinan No. 16 Tahun 2019 atas perubahan UU No. 1 Tahun 1974. Selain itu, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan usia anak adalah sampai dengan 18 tahun.
Oleh karena itu, KOMPAKS dalam keterangan pers yang diterima Gatra.com pada Sabtu sore (5/6), menyatakan, penayangan sinetron ini telah melanggengkan praktik perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender dan momok bagi banyak anak perempuan di Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2021, mencatat adanya peningkatan ekstrem angka perkawinan anak hingga 3 kali lipat pada tahun 2020. Berdasarkan data Badan Pengadilan Agama (Badilag), dari 23.126 kasus perkawinan anak (dispensasi nikah) di tahun 2019, kemudian naik tajam menjadi 64.211 kasus pada tahun ini.
Perkawinan anak memiliki dampak buruk pada anak perempuan, baik untuk perkembangan psikis anak maupun dampak biologis yang bisa mengancam kesehatan, bahkan menyebabkan kematian.
KOMPAKS menyebut sinetron “Suara Hati Istri” (SHI) telah mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung serta melanggengkan praktik perkawinan anak, bahkan kekerasan seksual terhadap anak dengan promosi yang dilakukan melalui kanal YouTube Indosiar, yakni penggunaan judul clickbait pada salah satu episodenya: “Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta! Istri Pertama & Kedua Panas? | Mega Series SHI – Zahra Episode 3”. Namun, berdasarkan penelusuran Gatra.com, video tersebut telah diturunkan atau di-takedown dari kanal YouTube lresmi Indosiar.
KOMPAKS juga mengatakan bahwasanya tayangan dan promosi dari sinetron ini telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditujukan untuk kegiatan penyelenggaraan penyiaran, baik TV maupun radio di Indonesia, utamanya Pasal 14 Ayat (2) mengenai Perlindungan Anak yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.”
Di samping itu, melihat berbagai fakta dan realita yang dialami korban perkawinan anak, KOMPAKS pun menilai bahwa sungguh miris ketika ada sebuah sinetron yang ditayangkan melalui saluran televisi nasional telah mendukung, melanggengkan dan bahkan mendapatkan keuntungan atau monetisasi dari isu perkawinan anak. Ini kontradiksi pada penghapusan kekerasan berbasis gender.
Atas situasi penayangan sinetron SHI yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak, KOMPAKS yang merupakan jaringan masyarakat sipil terdiri dari 101 platform media sosial, kolektif maupun organisasi dengan isu kemanusiaan dan keberagaman, terutama kekerasan seksual, menyatakan mengecam keras dan menuntut:
1. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghentikan sementara tayangan tersebut dan memberikan sanksi berat pada rumah produksi Mega Kreasi Films dan jaringan penyiaran Indosiar yang memproduksi dan menayangkannya,
2. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menginvestigasi tayangan tersebut dan berikan perlindungan kepada aktris anak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut, baik atas dampak produksi yang telah berlangsung maupun dampak dari pemberitaan media,
3. Lembaga Sensor Film (LSF) untuk bekerja secara kritis, benar, dan bertanggung jawab atas penayangan sinetron tersebut,
4. Jaringan penyiaran Indosiar untuk menghentikan sementara penayangannya serta menarik konten promosi yang menayangkan cuplikan adegan-adegan dari sinetron tersebut dari kanal Youtube Indosiar ataupun platform lain yang digunakan sebagai kanal promosi,
5. Jaringan penyiar Indosiar dan rumah produksi Mega Kreasi Films untuk sebagai gantinya bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat dengan memproduksi dan menayangkan konten edukatif, terkait dengan isu perkawinan anak yang tidak melanggengkan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender tersebut.
Dikutip dari keterangan tertulis laman resmi KPI pada Jumat (4/6), Indosiar akan menghentikan sementara program siaran tersebut. Pihak Indosiar yang diwakili oleh Direktur Program Harsiwi Ahmad, menyatakan, berkomitmen untuk mengubah jalan cerita dari sinetron Zahra. Dia menyampaikan keterangan tersebut dalam pertemuan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Indosiar dan Mega Kreasi Film selaku rumah produksi dari sinetron ini pada Kamis lalu (3/6).