[ad_1]
Salah satu yang mengutarakan kritiknya adalah pengacara dan aktivis HAM Papua, Veronica Koman. Ia menilai, alih-alih menyelesaikan krisis, pelabelan teroris tersebut dikhawatirkan malah akan menutup pintu resolusi damai sebagai jalan keluar dari konflik berkepanjangan ini.
Selain itu, Veronica juga melaporkan bahwa rakyat sipil Papua merasa sakit hati dengan pelabelan teroris tersebut. “Kemarin dibilang [binatang], sekarang dibilang teroris,” ujarnya kepada Gatra.com, Selasa (11/5).
Sebagai catatan, pada 16 Agustus 2019 silam, terdapat dugaan perilaku atau ucapan rasis yang terlontar dari mulut aparat negara kepada sejumlah mahasiswa Papua di sebuah asrama di Surabaya. Dua pekan setelah kejadian tersebut, dua prajurit TNI ditetapkan sebagai tersangka. Namun, alih-alih disangkakan mengeluarkan ujaran rasisme, kedua prajurit tersebut hanya dikenai pasal indisipliner Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KHUPM) Pasal 103.
Hampir dua tahun kemudian, setelah peristiwa rasis tersebut, giliran gerakan KKB yang mendapatkan label dari pemerintah Indonesia, yaitu sebagai teroris. Memang, yang dilabeli teroris adalah KKB. Akan tetapi, sejumlah peneliti dan aktivis menilai bahwa pelabelan tersebut dikhawatirkan akan semakin menggencarkan stigma-stigma buruk terhadap mahasiswa-mahasiswa Papua yang sedang menimba ilmu di luar Papua.
“Baru berapa hari label teroris, ini sudah muncul stigma baru terhadap orang Papua, yaitu di area asrama mahasiswa Papua di Bali. Itu setidaknya ada sepuluh poster yang bilang bahwa mahasiswa Papua itu teroris, gitu. Jadi stigma-stigma ini sudah muncul,” kata Veronica.
Tak hanya Veronica yang mengkhawatirkan hal tersebut, Gubernur Papua, Lukas Enembe, pun merisaukan hal yang sama. Setelah pemerintah mengeluarkan pernyataan resmi tentang pelabelan teroris terhadap KKB di Papua pada tanggal 29 April 2021, sang gubernur sekonyong-konyong menerbitkan rilis pers yang memuat beberapa pernyataan sebagai respons terhadap pelabelan tersebut.
Salah satu pernyataannya—lebih spesifiknya pernyataan nomor 5—berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah Provinsi Papua juga berpendapat bahwa pemberian label teroris kepada KKB akan memiliki dampak psikososial bagi Warga Papua yang berada di perantauan. Hal ini ditakutkan akan memunculkan stigmatisasi negatif yang baru bagi Warga Papua yang berada di perantauan.”
Pelabelan terorisme terhadap KKB di Papua ini dinilai sebagai langkah mundur oleh pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer. “Kenapa saya katakan langkah mundur? Pola-pola pendekatan seperti itu mengulangi pola-pola kekerasan yang lalu. Pemerintah tidak menempuh cara-cara dialog, ya,” ujarnya pada sebuah forum diskusi.
Menurut Veronica, pelabelan teroris terhadap KKB di Papua ini merupakan langkah putus asa pemerintah pusat dalam menangani krisis Papua yang berkepanjangan. “Dengan pelabelan teroris ini kan otomatis udah menutup pintu kan ke resolusi damai itu,” ujar Veronica.
Reporter: Yoga Aditya Pratama
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita