[ad_1]
Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Hukum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Ary Zulfikar, mengatakan, pelaporan harta kekayaan merupakan upaya untuk mencegah tidak pidana pencucian uang (TPPU).
Ari dalam webinar bertajuk “Perang Global Melawan Pencucian Uang” gelaran Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) dan WorldwideQuality Assurance (WQA) pada akhir pekan ini menyampaikan, ketentuan pelaporan tersebut sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2021.
PP 61 tersebut, lanjut Ary selaku pembicara kunci (keynote speaker) dalam webinar, merupakan perubahan dari PP 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“PP tersebut erat kaitannya dengan pihak pelaporan harta kekayaan yang patut diduga berasal dari suatu tindak pidana dan prinsip yang digunakan dalam UU TPPU untuk mengenali apa yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang mencurigakan,” katanya.
Adapun transaksi keucangan mencurigakan, Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang (UU) TPPU mendefinisikan ada 4, salah satunya adalah jika terjadi transaksi keuangan tidak sesuai profil atau karakteristik kebiasaan pola transaksi pengguna jasa. Filosofi dari UU TPPU adalah penerapan prinsip mengenali pengguna jasa. Setiap penyedia dan pengguna jasa harus memahami prinsip tersebut.
“Kami di LPS seringkali melakukan penyelidikan suatu tindak pidana, tetapi seringkali penyelidikan dilakukan setelah kerugian itu terjadi. Jadi sering kita melakukan penyelidikan setelah bank tersebut telah mengalami kerugian,” ujarnya.
Menurut Ary, dengan adanya kegiatan pelaporan, pada dasarnya dapat mencegah tindak pidana pencucian uang karena pelaku tindak pidana pada akhirnya tidak dapat menggunakan hasil kejahatan atau menyamarkan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidanannya tersebut.
Berdasarkan UU TPPU, ada sekitar 26 tindak pidana yang secara defintif disebutkan, termasuk pencurian, penyuapan, korupsi di bidang perbankan, pemalsuan uang, penipuan, dan sebagainya.
Pasal 17 Ayat (2) UU TPPU menyatakan bahwa ketentuan pihak pelapor diatur dalam PP, maka lahirlah PP Nomor 43 sebagaimana diubah dengan PP 61 Tahun 2021, yang menyebutkan secara rinci mengenai cakupan pihak pelapor yang memiliki kewajiban pelaporan.
Adapun perbedaannya, dalam PP 61 ada tambahan bahwa pihak pelapor mencakup juga antara lain penyedia jasa yang juga memberikan layanan pinjaman onlin (pinjol), penyedia layanan saham berbasis teknologi informasi, penyedia jasa layanan keuangan berbasis teknologi informasi.
“Pinjol itu bagian dari penyedia jasa yang memang diwajibkan sebagai pihak pelapor,” katanya dalam siaran pers.
Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2004, LPS bertugas menjalankan fungsi penjaminan simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara sistem perbankan dengan melakukan kegiatan resolusi bank untuk meminimalkan kerugian akibat penyalahgunaan yang dilakukan oleh pemegang saham, pengurus atau staf bank yang merugikan bank.
Dalam kegiatan resolusi, termasuk melakukan upaya meminimalkan kerugian bank. Oleh karenanya, dahulu fungsi dan tugas LPS disebut sebagai loss minimizer. Namun saat ini, saat pandemi, LPS juga dituntut untuk menjadi risk minimizer, yaitu melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kegagalan bank.
Dalam konteks penanganan bank BPR bermasalah, menurut Ary, LPS melakukan due diligence, termasuk menengarai apakah ada perbuatan yang dilakukan oleh pemegang saham, direksi, komisaris maupun staf yang merugikan bank yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana umum.
“Dalam melakukan investigasi itu, LPS juga selalu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk dengan PPATK [Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan],” ujarnya.
Ketua PPATK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahayanya dampak tindak pidana pencucian uang jika tidak tertangani dengan baik. Soal seberapa besar bahanyanya, menurutnya, seperti yang dikisahkan dalam berbagai film misalnya “Narcos: Mexico” bahwa uang hasil penjualan narkoba dicuci sampai sedemikian besar berpengaruh dalam berbagai sendi kehidupan. Kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat.
“Bahkan sampai sekarang Kolombia dan Meksiko tidak bisa lepas dari narkoba dan traficking, uang hasil kejahatan narkoba tidak bisa dikendalikan akhirnya, negara itu tidak bisa dikendalikan,” ujarnya.
Mirisnya, bahkan di sana tidak ada politikus yang bebas dari narkoba karena mereka bisa menjadi politikus dari pembiayaan uang hasil narkoba. “Apakah Indonesia punya potensi seperti itu? Mari kita renungkan bersama,” ucapnya.
Sesuai data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai angka 5 juta orang. Berdasarkan hasil analisis PPATK bahwa transaksi narkoba mencapai triliunan. Kalau itu terus berkembang, pencucian uang berjalan masif bisa dipastikan akan berpengaruh kepada yang lain. Jika memasuki dunia politik, akan menjadi hal yang sulit untuk dicegah, hal tersebut yang harus diperhatikan.
“Dampak tindak pidana kejahatan pencucian uang memang sangat luar biasa. Belum lagi hasil korupsi juga sudah sangat besar, jangan-jangan mencapai ratusan triliun,” ujarnya.
Belum lagi dari kejahatan pembalakan liar (illegal loging), illegal mining, illegal fishing, dan berbagai macam tindak pidana atau kejahatan lainnya yang jika diakumulasikan jumlahnya tentunya tidak sedikit.
Menurutnya, dampak pencucian uang juga akan merusak integritas sistem keuangan suatu negara. Jika kejahatan tersebut tidak terdeteksi, maka akan mengganggu hal lain, misalnya investasi dan ekonomi.
“Bayangkan, misalnya ada orang yang bisnis dengan susah payah, pinjam uang susah, nah di sisi lain ada orang orang yang dibiayai dari dana hasil pencucian uang,” katanya.
Dian mengungkapkan, saat ini modus dan cara melakukan pencucian uang semakin canggih. Penyamaran transaksi, rekayasa keuangan, dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang semakin rumit dan kompleks. “Ini adalah tipikal money laundering,” katanya.
Dalam kasus narkoba misalnya, sudah pasti melibatkan transaksi keuangan trans nasional atau trans border. Selain itu, melibatkan organisasi kriminal antarnegara yang saling terkait.
Demikian juga pencucian uang hasil korupsi, lanjut Dian, kalau dahulu sederhana, yakni uang hasil korupsi ditaruh di bank, sekarang sudah lebih kompleks dan dinamis, karena melibatkan professional money laundering.
“Misalnya mereka pergi ke kasino di luar negeri, tidak benar-benar bermain judi, namun menerima uang dari hasil korupsi,” ungkapnya.
Biasanya ada kerja sama dengan konsultan professional yang menyarankan dan menyamarkan menerima uang hasil korupsi, sehingga uang itu seolah terlihat clean secara hukum dan finansial.
“PPATK sangat concern dengan para pelaku money laundering karena memang dampaknya sangat berbahaya terhadap integritas keuangan dan perekonomian,” katanya.
Dian sependapat dengan Ary bahwa biasanya penyelidikan terkait dengan tindak pidana pencucian uang di perbankan, kerugian itu sudah terjadi, sehingga sulit untuk melakukan upaya memulihkan (recovery) secara optimal.
Soal begitu bahayanya tindak pidana pencucian uang sebagaimana disampaikan ketua PPATK, panelis webinar Yudianta Simbolon menyampaikan, tidak salah jika kasus tersebut termasuk dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Mengingat pelakunya merupakan jaringan dan dampaknya bisa melibatkan berbagai pihak, seperti kalangan internal perbankan, aparat penegak hukum, termasuk politisi dan professional money laundering.
Sementara itu, Defrizal Djamari, menyampaikan, dalam kasus pencucian uang global biasanya ada tiga tahapan. Pertama adalah penempatan (placement) dana di dalam maupun di luar negeri dari hasil kejahatan. Tahap kedua, menyamakan atau layering dengan berbagi cara. Ketiga integrasi, yakni bagaimana uang yang disamarkan disimpan dalam rekening pelaku. “Inilah yang sering terjadi dalam proses pencucian uang,” ujarnya.
[ad_2]
Sumber Berita