[ad_1]
Djoko Saryono *
Embrio sastra Indonesia sudah tampak jelas pada paruh kedua Abad XIX. Bisa dikatakan bahwa pada akhir Abad XIX sudah publikasi karya sastra berupa cerpen, roman [novel], dan puisi yang bercitra dan bersemangat Indonesia atau minimal bisa diidentifikasi telah membayangkan keindonesiaan. Sebagai contoh, semenjak 1870-an sudah dipublikasikan cerpen Indonesia di beberapa media massa sebagaimana dapat diperiksa dalam buku Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Periode Awal [1870-an–1910-an] yang dihimpun dan diterbitkan oleh Pusat Bahasa (2005).
Memasuki dasawarsa pertama dan kedua Abad XX, sastra Indonesia makin menampakkan sosok secara kuat-jelas-nyata [real], kemudian berkembang cukup dinamis pada masa-masa selanjutnya. Secara kuantitatif, terhitung semenjak dasawarsa pertama dan kedua Abad XX tersebut, beraneka ragam karya sastra Indonesia digubah oleh sastrawan Indonesia dan dipublikasikan oleh berbagai penerbit. Dalam hubungan ini berbagai novel dan cerpen Melayu Rendah atau Peranakan-Tionghoa, Balai Pustaka, dan non-Balai Pustaka digubah dan dipublikasikan. Semua itu menunjukkan bahwa berkat kehadiran, partisipasi proaktif dan keterlibatan intensif para pengarang Indonesia, sastra Indonesia mampu berkembang dinamis.
Bukti-bukti memperlihatkan, berdasarkan segi gender, baik pengarang laki-laki maupun pengarang perempuan telah berpartisipasi secara proaktif dan terlibat secara intensif dalam melajukan kedinamisan perkembangan sastra Indonesia termasuk perkembangan cerpen Indonesia. Bersama dengan pengarang laki, terbukti bahwa pengarang perempuan telah hadir [eksis] secara signifikan, berpartisipasi secara proaktif, dan terlibat secara intensif sejak masa awal perkembangan sastra Indonesia. Meskipun kuantitas dan produktivitas pengarang perempuan tidak setinggi pengarang laki-laki, kreativitas dan kualitas karya para pengarang perempuan harus dicatat dan diperhitungkan secara seksama dalam sejarah sastra Indonesia.
Dikatakan demikian karena kreativitas dan kualitas karya mereka tidak banyak berbeda dengan pengarang laki-laki atau tidak selalu di bawah baying-bayang kreativitas dan kualitas karya sastra gubahan pengarang laki-laki. Sebagai contoh, sudah diakui baik secara nasional maupun internasional, novel Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini, Supernova karya Dee Dewi Lestari, dan Saman karya Ayu Utami merupakan tiga novel yang sangat kreatif dan berkualitas di samping para pengarangnya juga tergolong produktif, bahkan Nh Dini. Dee, dan Ayu Utami sangat produktif.
Dalam dinamika sejarah perkembangan sastra Indonesia, secara kuantitatif diketahui bahwa para pengarang perempuan beserta karya sastra gubahan mereka terus-menerus bermunculan secara ajek, berkesinambungan, dan berkelanjutan; tidak pernah terjadi kekosongan atau kevakuman kepengarangan perempuan dan ke-sastra-an perempuan dalam rentangan sejarah perkembangan sastra Indonesia. Nama-nama seperti Selasih [Selaguri/Sariamin], Soewarsih Djojopoespito, Walujati, Nh. Dini, Titis Basino, Luwarsih Pringgodi¬suryo, Ikasiah Soemarto, Lastri Fardani Sukarton, Titi Said, dan Aryanti telah hadir, berkarya, dan berkiprah pada masa-masa pembentukan dan pemantapan kehadiran dan identitas kepengarangan perempuan Indonesia.
Nama-nama tersebut kemudian disusul dengan nama-nama Ratna Indraswari Ibrahim, Marianne Katoppo, Sirikit Syah, Yati Setiawan, Ani Sekarningsih, Nova Riyanti Yusuf, Meidy Lukito, Leila S. Chudori, Dorothea Rosa Herliany, Abidah el-Khaleiqy, Oka Rusmini, Ayu Utami, dan Dee Dewi Lestari [dari jajaran sastra serius]; serta Marga Tjoa, Maria A. Sardjono, Mira W., dan Naning Pranoto serta Fira Basuki [dari jajaran sastra populer] yang berkarya dan berkiprah secara signifikan pada masa-masa penguatan kehadiran dan identitas kepengarangan perempuan Indonesia. Di sini malah bisa dikatakan bahwa kepengarangan sastra popular “didominasi” oleh nama-nama pengarang perempuan sejak dasawarsa 1970-an.
Selanjutnya, nama-nama tersebut diikuti dengan nama-nama seperti Linda Christanty, Oka Roesmini, Cok Sawitri, Djenar Mahesa Ayu, Nukila Amal, Lan Fang, Nenden Lilis, Dinar Rahayu, Ratih Kumala, Dewi Ria Utari, Wa Ode Wulan Ratna, Yetti A.K., Artie Ahmad, Ini Made Purnamasari, dan Laksmi Pamuntjak yang berkarya dan berkiprah secara siginifikan pada masa-masa pengembangan dan pelestarian kehadiran dan identitas kepengarangan perempuan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Bahkan sepuluh tahun terakhir perkembangan sastra Indonesia “disemaraki secara dominan” oleh pengarang perempuan Indonesia sehingga karya mereka dijuluki sastra wangi. Jadi, kehadiran secara signifikan, partisipasi secara proaktif, dan keterlibatan secara intensif pengarang perempuan Indonesia beserta karya sastra gubahan mereka selalu berkesinambungan dan berkelanjutan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Para pengarang perempuan Indonesia bukan hanya menggubah naskah lakon, novel, dan puisi, tetapi juga cerpen; kreativitas dan kualitas karya mereka merambah semua genre sastra Indonesia. Ratna Sarumpaet telah menggubah beberapa naskah lakon. Dalam pada itu, sebagai contoh, Dorothea Rosa Herliani, Oka Rusmini, Sirikit Syah, Cok Sawitri, dan Ratna Indraswari Ibrahim telah menggubah novel, cerpen, dan puisi yang berkualitas secara produktif. Dee Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Nukila Amal juga telah menggubah beberapa novel dan [kumpulan] cerpen yang cukup kreatif dan berkualitas. Selanjutnya, Linda Christanty, Nenden Lilis, Helvy Tiana Rosa, Dewi Sartika, Ratih Kumala, dan Wa Ode Wulan Ratna telah menggubah cerpen yang cukup kreatif dan berkualitas.
Berdasarkan penghargaan yang diterima, penilaian para kritikus-apresiator sastra, dan atau pembacaan peneliti atas berbagai karya pengarang perempuan, dapatlah disimpulkan bahwa semua nama tersebut telah menghasilkan berbagai karya sastra berkualitas yang membuat sastra Indonesia terus-berkembang di samping telah mengisi, memperkaya, dan memperkuat sejarah perkembangan sastra Indonesia. Karena itu, kehadiran, partisipasi, dan keterlibatan mereka sebagai penyair, novelis, pelakon, dan cerpenis perempuan Indenesia tidak dapat diabaikan, dipungkiri, apalagi dihilangkan dalam sejarah sastra Indonesia; mereka beserta karya-karya sastra yang mereka gubah harus dicatat, diapresiasi, dan mendapat tempat dalam historiografi sastra Indonesia.
Berdasarkan sigian awal ditemukan bahwa kehadiran, partisipasi, dan keterlibatan intensif pengarang perempuan Indonesia beserta karya-karya gubahan mereka dalam perkembangan sastra Indonesia belum banyak diperhatikan dan dikaji oleh peneliti dan pemerhati sastra, peneliti dan penulis masalah perempuan atau gender, dan penulis historiografi sastra Indonesia serta kritikus-apresiator sastra Indonesia di samping media massa cetak dan elektronis.
Untuk hal itu ada berbagai bukti yang bisa dikemukakan di sini. Pertama, sampai sekarang masih relatif terbatas liputan, reportase, dan atau ulasan mendalam [dari] media massa cetak tentang kepengarangan perempuan Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, minimal hanya dua jurnal bereputasi-berwibawa nasional tentang keperempuanan yang menurunkan liputan investigatif secara mendalam mengenai kepengarangan perempuan Indonesia, yaitu [1] Jurnal Perempuan No. 30 Tahun 2003 menurunkan liputan bertajuk Perempuan dalam Seni Sastra dan [2] Jurnal Srinthil No. 8 Tahun 2005 menurunkan liputan bertajuk Perempuan dan Sastra Poskolonial. Menurut hasil sigian awal peneliti, majalah dan jurnal sastra berkaliber nasional seperti Majalah Horison, Jurnal Prosa, dan Jurnal Cerpen belum pernah menurunkan liputan investigatif-mendalam tentang kepengarangan perempuan secara khusus meskipun karya-karya dan ulasan karya-karya mereka sering dimuat.
Kemudian, kedua, buku-buku historiografi atau sejarah sastra Indonesia, antara lain Modern Indonesian Literature (1978) karya A. Teew, Ikhtisar Sejarah sastra Indonesia (1981) karya Ajip Rosidi, Lintasan Sejarah Sastra Indonesia (1988) karya Jakob Sumardjo, dan Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2006) karya Yudiono KS tidak banyak mengulas atau membicarakan pengarang perempuan Indonesia beserta karya karya mereka. Demikian juga buku berjudul Pengarang-pengarang Perempuan Indonesia (1977) karya Th Rahayu Prihatmi dan Sastra dan Masyarakat Indonesia (1982) karya Jakob Sumardjo, hanya membahas beberapa pengarang perempuan beserta karya-karya mereka. Selanjutnya, buku bertajuk Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia (2006) karya Maman S. Mahayana memang secara khusus mengulas dan membahas ihwal rupa-rupa makna, corak, kecenderungan, dan estetika cerpen Indonesia; namun, tidak mengulas-membahas secara khusus cerpenis perempuan Indonesia beserta karya-karya mereka.
Sepengetahuan saya, buku dan kajian khusus yang mengulas-membahas pengarang perempuan Indonesia secara memadai, mutakhir, dan komprehensif dapat dikatakan belum ada. Oleh karena itu, penyair, novelis, dan cerpenis perempuan Indonesia tampak kurang tampil representative-konstruktif dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia sekaligus historiografi sastra Indonesia. Perkara tersebut sudah cukup lama dikeluhkan oleh Toeti Heraty Noerhadi, seorang penyair. cendekiawan, dan gurubesar perempuan terkemuka Indonesia, dengan menyatakan bahwa perempuan Indonesia tersiksa dalam teks sastra dan sejarah sastra Indonesia.
Hal tersebut telah menimbulkan dampak negatif atau keadaan tidak kondusif baik bagi pengarang perempuan Indonesia maupun bagi dunia sastra Indonesia terutama historiografi sastra Indonesia. Dua dampak negatif atau keadaan tidak kondusif perlu dikemukakan di sini. Pertama, pada banyak pihak timbul anggapan, kesan, dan persepsi bahwa perempuan Indonesia kurang signifikan berkiprah, proaktif berpartisipasi, dan intensif terlibat di bidang dunia kreatif Indonesia, dalam hal ini dunia penulisan dan penerbitan sastra Indonesiaa. Maka dari itu, sejarah perkembangan sastra sekaligus dunia sastra Indonesia tampak didominasi dan dikendalikan oleh pengarang laki-laki Indonesia sehingga timbullah kesenjangan dan ketidakadilan gambaran antara teks sejarah sastra Indonesia dan kenyataan perkembangan sastra Indonesia.
Kedua, timbul gambaran kurang representatif dan kurang holistis-komprehensif bagi perempuan Indonesia yang bergerak dan berkiprah di dunia kreatif Indonesia. Yang ada hanya gambaran fragmentaris ihwal pengarang perempuan Indonesia. Tak ayal, akibatnya, kurang diketahui siapakah para pengarang perempuan Indonesia yang telah berkiprah dan berkarya di bidang sastra Indonesia di samping bisa kurang diketahui apa yang diperbuat oleh pengarang perempuan Indonesia bagi dinamika sejarah perkembangan sastra Indonesia. Di sini pengarang perempuan Indonesia beserta karya mereka tenggelam atau absen dalam historiografi sastra Indonesia.
Dua dampak negatif atau keadaan tidak kondusif tersebut membuat identitas sosial budaya, peran[an], dan kontribusi pengarang perempuan Indonesia dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia sekaligus historiografi Indonesia kurang diketahui secara proporsional dan holistis-komprehensif. Jika suatu masyarakat sastra lebih menganggap dan menghargai genre puisi dan naskah lakon sebagai sastra yang representatif [seperti masyarakat Yunani pada masa lampau] atau lebih menempatkan dan memperlakukan genre puisi dan roman/novel sebagai sastra [seperti masyarakat Eropa sebelum Abad XX dan masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara pada masa lampau], maka kemudian cerpen kurang memperoleh pengakuan dan perlakuan sebagai genre sastra sehingga gambaran tentang cerpenis perempuan sangat kurang dibandingkan dengan gambaran tentang penyair perempuan dan novelis perempuan, lebih-lebih dengan gambaran mengenai penyair dan novelis laki-laki.
Sekarang cerpen terutama cerpen Indonesia – yang banyak di antaranya digubah oleh perempuan – telah memperoleh pengakuan dan perlakuan luar biasa positif-konstruktif dan impresif dari banyak kalangan sebagaimana tampak pada pemuatan cerpen dalam setiap edisi Minggu suratkabar apapun di Indonesia, dalam berbagai majalah umum yang terbit setiap bulan, dan jurnal atau majalah sastra. Meskipun demikian, sampai sekarang gambaran tentang identitas sosial budaya, peran[an], dan kontribusi cerpenis perempuan Indonesia masih relatif kurang atau bahkan jauh dari proporsional dan holistis-komprehensif dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia sekaligus historiografi sastra Indonesia. Tak heran, pembicaraan terhadap wacana sastra dan kepengarangan sastra Indonesia sampai sekarang tampak identik atau serupa dengan pembicaraan terhadap wacana maskulin dan kepengarangan maskulin sehingga terkesan ada pelanggengan ketimpangan dan ketidaksetaraan gender dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia sekaligus historiografi sastra Indonesia. Inilah perkara problematis dalam dunia sastra Indonesia khususnya dunia percerpenan Indonesia.
Sudah barang tentu perkara problematis tersebut tidak boleh dibiarkan secara terus-menerus; sedikit demi sedikit perkara problematis tersebut perlu segera diselesaikan atau diatasi. Selesainya atau diatasinya perkara problematis tersebut membuat identitas sosial budaya, peran[an], dan kontribusi perempuan Indonesia dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia tertulis dan terawetkan di dalam historiografi sastra Indonesia sesuai dengan kenyataan kehadiran, partisipasi, dan intensitas keterlibatan mereka di dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia di samping sesuai dengan kenyataan kreativitas, produktivitas, dan kualitas karya-karya sastra mereka dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia. Untuk itu, diperlukan kajian khusus tentang kehadiran, partisipasi, dan intensitas keterlibatan para pengarang perempuan Indonesia. Sebagai salah satu genre sastra yang sekarang sangat populer di Indonesia, kajian khusus tentang profil cerpenis perempuan Indonesia beserta cerpen-cerpen gubahan mereka sangat diperlukan.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
[ad_2]
Sumber Berita