[ad_1]
“Jadi kalau ngeliat dari hasil riset tim kajian Papua LIPI, yang dilakukan sebenernya juga sudah cukup lama dari 2004 sampai 2008 ya, pada saat itu melakukan riset. Dan 2009 akhirnya tim LIPI mempublikasikan Papua Road Map, di situ ada penjelasan tentang 4 akar konflik Papua,” ungkapnya, dalam “Ngobrol Amnestypedia” bertajuk “Apa Akar Konflik di Papua?” yang diadakan Senin (10/5), secara daring.
Akar konflik yang pertama, kata Putri, yaitu perbedaan perspektif sejarah dan status politik Papua. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian. Misalnya, yang satu menegaskan Papua merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan kelompok lainnya melihat itu masih bersifat debatable atau dapat diperdebatkan.
“Yang satu misalnya ada perspektif bilang, ini sudah merdeka gitu sebelum ada penggabungan tadi, ada integrasi tadi. Yang kedua, ini lebih mempertanyakan tentang proses integrasinya ini bermasalah karena misalnya tidak melibatkan apa, representasi yang cukup, yang benar gitu dari orang Papuanya. Ada perspektif-perspektif yang berbeda dan ini menjadi salah satu akar persoalan untuk konflik Papua,” ujarnya.
Adapun akar konflik kedua, yakni terkait kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Kita tahu misalnya sudah terjadi sederet kekerasan dan pelanggaran HAM nih, terutama ketika Order Baru yah. Pada saat itu memang pendekatan keamanan jadi yang utama untuk menyelesaikan konflik, gitu. Dan sederet kekerasan dan pelanggaran HAM itu terjadi,” ujarnya.
Sedangkan akar konflik ketiga di Papua, adalah kegagalan pembangunan. Ia menuturkan, riset dari Tim Kajian Papua LIPI itu berlangsung pada tahun 2004 sampai 2008 lalu. Saat itu telah masanya Otonomi Khusus untuk Papua (Otsus), dan sudah ada upaya pembangunan yang masif.
“Tapi ternyata, belum berhasil meningkatkan apa, hajat hidup lah kesejahteraannya orang asli Papua terutama, gitu,” ungkapnya.
Akar konflik yang terakhir atau yang keempat di Papua, terang Putri, yaitu berkaitan dengan diskriminasi. LIPI melaporkan, masih adanya persoalan diskriminasi rasialis yang marak dan terjadi di sana serta terutama menyasar orang asli Papua.
“Nah keempat hal ini menjadi akar konflik di Papua dan itu tidak hanya pada saat riset itu berlangsung, tetapi kita di tim LIPI ini juga melakukan riset kembali di tahun 2017 karena kan sudah cukup berjeda ya,” katanya.
“Dinamika politiknya masih sama enggak sih? Gitu, akar konfliknya masih sama enggak sih? Ternyata pas kita lakukan riset 2017, itu menemukan, ternyata masih sama gitu akar-akar konflik itu masih ada. Dan itu pun sampai hari ini, enggak ada perubahan,” katanya.
Reporter: Farid Nurhakim
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita