[ad_1]
Pekanbaru, Gatra.com – Masih jelas terekam dalam benak Suprojo tentang pertemuan dia dan rekannya sesama petani plasma di SP8 — kini Desa Tapung Lestari Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau — di balai desa.
Kebetulan sekitar Maret 1998, mereka didatangi perwakilan perusahaan, Dinas Perkebunan kabupaten dan provinsi, Dirjenbun dan pihak asuransi Bumiputra.
Di pertemuan itu mencuat kata-kata bahwa petani plasma diminta untuk ikut program asuransi Iuran Dana Peremajaan Tanaman Perkebunan (Idapertabun).
Program itu adalah program pemerintah yang bekerjasama dengan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912.
“Bumiputra ini besar, enggak akan ada masalah dengan uang bapak dan ibu kelak,” lelaki 47 tahun ini mengulang kembali kata-kata yang dia dengar sekitar 23 tahun lalu.
Merasa kalau para petani plasma kiriman pemerintah tahun 1995 ini adalah bagian dari program pemerintah, merekapun mengiakan ajakan itu. Hitung-hitung uang tabungan nanti untuk peremajaan kebun juganya.
“Lantaran pemerintah yang ikut mendampingi, kami ngikut aja. Maklumlah pak, kami ini hanya orang kampung dan tadinya kami juga menyangka kalau AJB Bumiputra itu BUMN,” ujar Ketua KUD Tri Manunggal Abadi ini kepada Gatra.com, Sabtu (19/12).
Baca juga: Sampai Almarhum Menunggu Duit Idapertabun
Para petani plasma kata Suprojo, ada yang mengambil paket Idapertabun Rp20 juta, ada pula yang hanya paket Rp12 juta.
“Artinya, nanti kalau sudah habis kontrak, kami dapat duit segitulah. Waktu itu premi awal Rp7500 perbulan dan belakangan Rp60 ribu perbulan,” Suprojo merinci.
Gara-gara mereka tadi plasmanya perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sinar Mas, biar pola pembayaran gampang, PT Sinar Mas lah yang ditugasi memotong duit hasil kebun petani untuk dibayarkan ke Bumiputera.
Praktis, tak sekalipun pembayaran premi petani ini terlambat. “Begitu terus sampai masa kontrak habis,” cerita Suprojo.
Semula kata ayah dua anak ini, pembayaran klaim peserta yang sudah berakhir kontrak, nampak lancar saja.
“Itulah makanya klaim kami sempat dibayarkan. Tapi ke sininya, pembayaran mulai macet. Petani mulai risau. Kami pengurus KUD pun terpaksa mondar-mandir mengurusi. Segala berkas yang ada kami kumpulkan kembali,” cerita Projo.
Dari semua berkas yang ada itu, kelihatanlah bahwa Bumiputera ternyata menjalin kerjasama dengan Dirjenbun, Dinas Perkebunan kabupaten, provinsi hingga Gubernur Riau.
Tapi setelah muncul masalah kata Projo, semua terkesan cuci tangan. “Yang membikin kami kaget, setelah muncul persoalan inilah baru kami tahu kalau Bumiputera ini rupanya bukan BUMN. Ini ketahuan setelah kami ketemu dengan Kepala Cabang Bumiputera Pekanbaru,” katanya.
Gara-gara pembayaran klaim macet tadi, alhasilnya rekan Projo yang masuk asuransi Bumiputera di tahap ketiga, langsung menghentikan pembayaran.
“Kapok mereka, Pak. Kami juga. Sekarang kalau mendengar nama asuransi, kami sudah malas,” ujarnya.
Lantaran duit para petani plasma ini masih macet di Bumiputera, Projo berharap semua pemerintah yang ikut meneken kerjasama dengan Bumiputera itu, ikut bertanggungjawab.
“Sebab gara-gara pemerintahnya makanya kami mau ikut asuransi Bumiputera itu, meski embel-embelnya untuk Idapertabun. Untung saja kami baru akan replanting di 2023, sempat sudah mendesak untuk replanting, enggak tahu kami harus seperti apa,” katanya.
Melalui pesan whatsapp, kepada Gatra.com Kepala Departemen Korporasi dan Pengembangan Bisnis AJB Bumiputra 1912, Niken Pratitis, berharap para agar petani mau bersabar.
“Mohon bersabar, klaim pasti dibayar. Kami sedang mengusahakan, Mudah-mudahan Rencana Penyehatan Keuangan Perusahaan (RPKP) segera disetujui OJK. Jadi, manajemen dapat segera menjalankan program-program penyehatan perusahaan,” katanya.
Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
[ad_2]
Sumber Berita