[ad_1]
TEMPO.CO, Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) memberikan sejumlah kritik terhadap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait penyelenggaraan pendidikan di masa pandemi. Ini dilakukan dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional.
“Sampai hari ini, ketika kebijakan belajar dari rumah di masa pandemi masih berlangsung, krisis di pendidikan masih berlangsung. Bahkan kebijakan pendidikan yang dibuat masih belum mampu mengatasi krisis di pendidikan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Mansur dalam keterangannya, Ahad, 2 Mei 2021.
Dalam catatan FSGI, Kemendikbud seperti kehabisan akal untuk menghadapi kendala belajar dari rumah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Covid-19. Meski rangkaian kebijakan telah dibuat, namun hingga April 2021 masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
“Justru angka putus sekolah bertambah dan peserta didik dari keluarga miskin nyaris tak terlayani karena ketiadaan alat daring,” katanya.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menilai, kekeliruan awal Kemendikbud adalah menjadikan belajar dari rumah menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet. Padahal, disparitas digital sangat lebar antardaerah di Indonesia.
FSGI menilai, program belajar dari rumah tidak efektif karena terlalu bertumpu pada internet. Sehingga, kebijakan yang dibuat Kemendikbud adalah pemberian bantuan kuota pada pendidik dan peserta didik. Namun, kata Heru, kebijakan tersebut tidak disertai pemetaan kebutuhan kuota yang beragam.
“Peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan wilayah blank spot tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan mereka tetap saja tidak terlayani PJJ,” ujarnya.
Menurut Heru, kegagalan pemerintah menangani dampak buruk PJJ justru malah melakukan relaksasi SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021. Hal tersebut seolah menunjukkan pembelajaran tatap muka (PTM) adalah cara ampuh mengatasi permasalahan pendidikan di tengah pandemi.
“Padahal ini hanya kemalasan berpikir mencari terobosan lain dan dapat menimbulkan permasalahan lain, seprti ledakan kasus Covid-19 jika pembukaan sekolah tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik,” kata Heru.
Heru mengatakan, kebijakan pendidikan yang dibuat untuk mengatasi PJJ kurang berhasil karena hanya bersifat umum dan cenderung menyeragamkan tanpa melihat kesenjangan yang begitu lebar, dan tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki daerah.
Atas sejumlah masalah tersebut, FSGI pun mendorong Kemendikbud bersinergi dengan dinas pendidikan di daerah dalam memastikan terlaksanananya proses pembelajaran antara siswa dan guru dengan berbagai model dan cara sesuai disparitas wilayah, potensi dan kesiapan sekolah.
“Kemendikbud membuat skenario yang jelas dan terpantau untuk masing-masing sekolah. Tidak lagi diserahkan kepada tim Covid secara global dalam satu kabupaten/kota,” tutur Heru.
FSGI juga mendorong Kemendikbud bekerja sama dengan dinas pendidikan melakukan pemetaan yang jelas tentang efektivitas belajar dari rumah di wilayah perkotaan dan pedesaan.
Heru mengingatkan agar pemerintah jangan merasa program bantuan kuota internet menyelesaikan masalah belajar dari rumah. Program tersebut bisa dilanjutkan, tapi harus dibarengi dengan pembagian gawai dan alat penguat sinyal. Opsi penggunaan guru kunjung dan lainnya harus menjadi alternatif.
Kemendikbud, kata Heru, juga tidak boleh memaksakan program yang tidak tepat guna untuk masa pandemi, seperti pendidikan Calon Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Organisasi penggerak yang justru membebani penanganan pendidikan di masa pendemi.
Terakhir, FSGI mendorong Kemendikbud untuk menjamin adanya mekanisme keterlibatan kepala sekolah agar permasalahan belajar dari rumah dan PTM di tingkat sekolah dapat teratasi.
“Dalam pantaua FSGI ada sekolah yang menjalankan belajar dari rumah apa adanya, bahkan ada yang PTM namun siswa merasa tidak nyaman dan tidak bisa belajar,” ujar Heru.
[ad_2]
Sumber Berita