[ad_1]
Demikian pesan inti dari webinar bertitel “Mengenal BPA dari Rumah” yang menampilkan dua dokter dari RS Mayapada Kuningan, Jakarta, yakni dokter spesialis kandungan dr. Darrel Pernando, SPoG dan dokter spesialis anak Neonatologist dr. Daulika Husna SpA serta Co-founder parentalk.id Ucha Bachri dan pakar teknologi pangan Dr. -Ing Azis Boing Sitanggang, S.TPMSc.
Daulika Husna dalam webinar yang digelar baru-baru ini, menyampaikan, mamin yang kemasannya, seperti galon atau botol yang mengandung BPA sangat berbahaya bagi tubuh jika dikonsumsi setiap hari dalam jangka waktu lama.
“Bahaya BPA dapat dirasakan dalam waktu lama. Jadi bahaya BPA tidak serta merta berefek. Contohnya pada gangguan hormon pada anak atau balita yang sedang tumbuh. Gangguan lainnya dapat memicu kanker jika BPA dikonsumsi terus menerus,” kata Daulika.
Darrel menyampaikan, agar BPA tidak memapari janin yang dikandung, ibu hamil harus teliti dalam memilih kemasan atau wadah plastik atau lainnya untuk tempat mamin. Di antaranya, perhatikan kode plastik dalam produk yang akan digunakan.
“Misalnya, kode plastik nomor tujuh (jenis plastik polykarbonat) yang perlu kita perhatikan dalam kemasan makanan kita karena kode plastik nomor tujuh, biasanya mengandung BPA. Meskipun bukan di level yang berbahaya, tapi kalau bisa diihindari agar tidak terjadi akumulasi jangka panjang,” ujar Darrell.
Bahaya BPA memang tidak serta merta terasa di waktu singkat, tapi bisa terakumulasi sebagai efek jangka panjang. Zat kimia ini bisa masuk ke dalam tubuh jika tidak hati-hati dalam menggunakan wadah mamin.
Dalam prosesnya, molekul BPA atau monomer di polimerisasi menjadi plastik karbonat (PC). Di proses polimerisasi itulah proses tidak berjalan sempurna sehingga menimbulkan molekul-molekul BPA bebas.
Molekul BPA bebas tersebut kemudian bermigrasi dari kemasan atau utilitas ke mamin yang terkonsumsi. Masuknya BPA ke dalam tubuh melalui dua cara, yaitu dietary exposure dan nondietary exposure.
“Masalah BPA adalah migrasi. Migrasi adalah berpindahnya zat kimia BPA yang ada pada kemasan makanan ke dalam produk pangan. Kita akan terpapar jika kita mengonsumsi produk pangan yang terkontaminasi BPA. Hindari risiko dengan mengurangi paparan,” kata Azis.
Proses migrasi BPA, contohnya bisa terjadi dalam kemasan galon yang kemudian larut kedalam air di dalam galon isi ulang. Prosesnya yaitu saat pengisian air ke dalam galon isi ulang di pabrik atau depo pengisian, mungkin sudah sesuai standar keamanan pangan yang telah ditetapkan. Tetapi pada saat proses distribusi hingga sampai ke tangan konsumen, tidak ada yang bisa menjamin air tidak terpapar BPA.
Menurutnya, walaupun jika dicek kandungannya masih dalam batas toleransi, tapi jika terakumulasi bertahun-tahun atau jangka panjang, maka tentu saja akan mengakibatkan hal yang serius bagi kesehatan anak balita dan ibu hamil.
?Untuk melindungi rakyat dari paparan BPA, sejumlah negara maju tegas menerapkan kebijakan melarang penggunaan BPA pada kemasan atau wadah mamin.
Editor: Iwan Sutiawan
[ad_2]
Sumber Berita