Jakarta, Gatra.com – Sejumlah praktisi hukum dari dalam dan luar negeri memaparkan berbagai hal penting tentang perkembangan hukum global, peran penting advokat dalam menangani masalah-masalah hukum, hingga kode etik profesi advokat di tengah pesatnya teknologi informasi.
Para praktisi hukum dari Indonesia, Argentina, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Belgia, dan Rwanda menyampaikan paparan materinya dalam seminar internasional bertema “New Opportunities and Challenges in International Practice: Globalisation & Professional Ethics” yang dihelat secara hybrid pada Senin (14/6).
Dalam seminar internasional gelaran Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bekerja sama dengan International Bar Association (IBA) dan ELF ini, para narasumber juga menyampaikan tantangan dan kesempatan bagi praktisi hukum atau advokat untuk berkontribusi dan berkembang di tengah berbagai dinamika perubahan hukum dan pesatnya teknologi.
Ketua Umum (Ketum) Peradi, Otto Hasibuan, menyampaikan, seminar internasional tersebut untuk meningkatkan kualitas dan wawasan advokat anggota Peradi, khususnya dalam menghadapi era disrupsi akibat pesatnya teknologi informasi.
“[Membahas] mengenai arbitrasi dan teknologi karena kita tahu bahwa dengan berkembangnya teknologi itu, banyak dari bagian-bagian dari pekerjaan lawyer itu mulai terambil,” kata Otto.
Ia mengungkapkan, para narasumber menyampaikan analisis mengenai apakah pekerjaan advokat bisa diambil atau dikerjakan pihak lain seiring pesatnya teknologi informasi. Menurut mereka, tidak semuanya bisa dilakukan pihak lain.
Meski demikian, para narasumber tak menampik bahwa ada pekerjaan advokat yang tergantikan. Misalnya, dahulu tidak semua masyarakat mengetahui tahapan yang harus dilakukan agar proses juali beli sesuatu bisa sah secarah hukum. Ini membutuhkan jasa lawyer atau advokat.
“Sekarang, dengan dia buka Google, dia tahu. Jadi tidak perlu tanya lawyer lagi. Itu bagian-bagian terkecil [yang terambil]. Tetapi untuk exercise atau class examination di court atau pengadilan, saya kira lawyer tetap dibutuhkan,” katanya.
Otto melanjutkan, pesatnya teknologi informasi ini harus disikapi secara komprehensif dan tepat. Salah satunya terhadap kode etik profesi advokat Peradi di Indonesia. Ini menjadi pembahasan menarik para praktisi hukum, terutama kajian dari IBA principles on professional ethics.
Pasalnya, kata Otto, ada beberapa perbedaan kode etik profesi advokat di berbagai negara. Contohnya, Indonesia melarang advokat atau firma hukum untuk beriklan. Namun di Ameriksa Serikat (AS) berlaku sebaliknya.
“Lawyer [di Indonesia] itu enggak bisa bilang pengacara 24 jam, itu enggak ada iklan seperti itu. Tetapi kalau kita pergi ke Amerika, langsung mendarat di situ, langsung ada unit lawyer fee per hours dan sebagainya. Jadi ada yang beda ya,” ungkapnya.
Namun setelah pesatnya teknologi informasi, ketentuan tersebut dipertanyakan. “Adanya YouTube, Facebook kan ada iklan terselubung pada lawyer. Sehingga tadi right issue-nya apakah memang kita tetap mempertahakan tidak boleh beriklan atau boleh beriklan,” katanya.
Menurut Otto, diskusinya menjadi panjang dan menarik, bagaimana kalau boleh beriklan. Jika diperbolehkan maka harus mengubah kode etik advokat. Bukan hanya itu, harus mengkaji secara komprehensif mengenai dampaknya bagi masyarakat pencari keadilan.
“Jangan sampai hanya gara-gara pinternya isi iklan, si pencari keadilan datang, rupanya masuk ke perangkap yang buruk. Ini problematika yang harus dibicarakan. Jadi betul-betul acara ini sangat pening sekali, terutama bayak sekali lawyer khususnya anak muda yang aktif di sini,” ucapnya.