[ad_1]
Hal ini disampaikan oleh Dianita Sugiyo, Vice Director Muhamamdiyah Steps, pusat studi soal pengendalian tembakau di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Menurutnya, kebijakan itu sesuai upaya Muhammadiyah Steps bersama jaringan pengendalian tembakau untuk mengadvokasi sejumlah kementerian dan lembaga berkomitmen dalam pengendalian tembakau.
“Kenaikan tarif cukai tersebut bertujuan untuk memutus jumlah perokok dan menekan perokok pemula di Indonesia,” kata Dianita, Sabtu (11/12).
Ia menjelaskan, alasan kenaikan cukai rokok itu sesuai konsep dan tujuan yang diatur dalam UU Cukai. “Peredarannya perlu diawasi dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, bukan hanya sekedar instrumen penerimaan negara,” tutur Dianita.
Kenaikan cukai tersebut hanya untuk rokok sigaret putih mesin golongan I, IIA dan IIB dan sigaret keretek mesin Golongan I, IIA, dan IIB. “Sementara industri kretek tangan tidak mengalamai kenaikan,” imbuhnya.
Menurutnya, Menteri Keuangan Sri Muliyani telah menyampaikan bahwa kenaikan tarif cukai pada 2021 demi kesehatan dan ekonomi. Alasan kesehatan mengacu pada kenaikan angka prevalensi perokok di bawah umur yakni yakni 9,1%, menjauh dari target pemerintah pada 2019 yakni 5,4%.
“Angka itu (menunjukkan rokok) mengancam kesehatan dan keberlangsungan generasi bangas Indonesia, serta mengantisipasi lonjakan total macroeconomic loss akibat konsumsi tembakau, salah satunya pembiayaan kesehatan akibat konsumsi rokok,” kata dia.
Dianita menyebut Kementerian Keuangan pada 2021 tidak melakukan simplifikasi cukai hasil tembakau. Namun pemerintah memberikan sinyal bakal memperkecil tarif celah antara sigaret kretek mesin golongan II A dan sigaret kretek mesin golongan II B, serta sigaret putih mesin golongan IIA dengan sigaret putih mesin golongan IIB.
“Walaupun tidak secara drastis menggabungkan golongan, upaya ini tetap sejalan dengan tujuan untuk mengoptimalkan cukai sebagai unsur pengendalian konsumsi,” ujarnya.
Ia menyatakan Muhammadiyah Steps berupaya menyuarakan kepada pemerintah bahwa generasi muda harus diselamatkan dari jeratan perilaku merokok. “Tujuan ini untuk mewujudkan Indonesia mencapai bonus demografi di masa mendatang dan mewujudkan Indonesia unggul berdaya saing global,” kata dia.
Apalagi, menurut Dianita, pemerintah menargetkan prevalensi perokok muda pada RPJMN 2024 turun sebesar 8,7%. Kenaikan cukai ini menyebabkan rokok menjadi lebih mahal dan memberikan limitasi akses kepada masyarakat kurang mampu dan anak usia di bawah umur. “Indeks affordability naik 12,2% menjadi 13,7% sampai dengan 14%, sehingga rokok makin susah dibeli,” tuturnya.
Editor: Arif Koes
[ad_2]
Sumber Berita