Jakarta, Gatra.com – Ketua Departemen Ekonomi & Pembangunan, Bidang Ekonomi & Keuangan (EKUIN) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni menilai wacana pelaksaan Tax Amensty Jilid II merupakan menunjukkan kegagalan Sri Mulyani secara umum dalam mengelola keuangan negara dan khususya terkait perpajakan.
Mengingat Indonesia sebelumnya, telah melakukan Tax Amnesty pada tahun 2016, peraih gelar MA bidang Ekonomi dari New York University ini menilai seharusnya melakukan evaluasi dan perbaikan sistem perpajakan. Pasalnya Tax Amnesty Jilid I, jelas Farouk, mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya.
“Pemerintah harusnya evaluasi dan memperbaiki sistem perpajakan kita secara menyeluruh, sepertinya Sri Mulyani mempunyai kapasitas yang terbatas terkait hal ini.” ungkap Farouk kepada pihak Gatra (8/6).
Terkait Tax Amnesty Jiid I, Farouk menguraikan bahwa kala itu terdapat tiga sasaran utama yakni menambah pendapatan perpajakan di Indonesia, dapat menarik dana dari luar negeri, serta diharapkan bisa memperluas basis perpajakan di Indonesia, yang pada akhirnya dapat meningkatkan rasio pajak Indonesia.
“Terkait dengan sasaran pertama, pemerintah menargetkan tambahan pendapatan pajak sebesar Rp165 triliun dari kebijakan ini. Namun, angka terakhir menunjukkan jumlah uang tebusan yang masuk hanya sebesar Rp135 triliun atau 81 persen dari target yang sudah dicanangkan.” ungkap Farouk.
Kemudian, lanjut Farouk, terkait sasaran kedua, komitmen repatriasi dana dari luar negeri hanya sebesar Rp147 triliun. Jumlah itu setara dengan 14,7 persen dari target yang ditetapkan mencapai Rp1.000 triliun.
Tak berbeda dengan target rasio pajak, jelas Farouk rasio pajak turut tidak memenuhi target, di awal Tax amnesty Jilid I tahun 2016, tax ratio RI berada di angka 10.4%, sedangkan sampai dengan akhir pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I, yakni (awal) tahun 2017, Tax ratio malah turun menjadi 9.9%. Terbaru pada periode 2018–2020 rasio pajak semakin turun menjadi 8,3 persen.
“Jadi Tax Amnesty Jilid I, boleh dibilang gagal, karena tidak ada target yang terpenuhi.” tegas Farouk.
Lebih lanjut, Farouk menambahkan bahwa pemerintah selalu gagal memenuhi target pajaknya, paling tidak sejak tahun 2014. Menurutnya, pemerintah melakukan instropeksi sumber dari kegagalan tersebut.
“Apakah karena target yang tidak realistis, belanja negara yang terlalu besar, padahal kita tidak punya kemampuan memenuhi belanja tersebut, atau apakah karena sistem perpajakan kita yg tidak kompetitif, terlalu tinggi pajak yang justru mengurangi pendapatan karena cenderung mendorong kolusi antara petugas dan wajib pajak, integritas petugas pajak, sistim perpajakan yang kurang baik, kurangnya “trust” masyarakat terhadap pengelolaan dana pajak, kebocoran karena korupsi, dan lain sebagainya.” papar Farouk.
Selain itu, Farouk menilai selama ini kinerja pemerintah dalam menarik pajak dari kalangan atas belum maksimal.
“Kalau kita lihat berdasarkan data World Bank bahwa ada sekitar 1% penduduk yang memiliki 50% kekayaan negara, atau 4 orang terkaya di Indonesia yang kekayaannya melebihi 40% penduduk terbawah (the bottom 40%). Sepertinya Pemerintah belum optimal menggali pajak dari masyarakat “super rich” tersebut.” terang Farouk
Menurut Farouk, rasio pajak merupakan cerminan kapasitas pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan dari pajak dibandingkan ukuran PDB-nya. Semakin kecil tax ratio menunjukkan semakin terbatasnya kapasitas tersebut, yang membuat sebuah negara akan perlu berhutang untuk memenuhi kebutuhan belanja negara.
“Penurunan tax ratio menunjukkan kegagalan manajemen keuangan negara tersebut karena tidak bisa mengoptimalkan sumber daya ekonominya untuk pembangunan.”
Pendiri Ketua Dewan Pembina Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) ini turut mengingatkan agar kelak pemerintah mampu memanfaatkan peningkatan rasio pajak untuk kepentingan rakyat.
“Tetapi perlu diingat, peningkatan tax ratio harus benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat banyak, dalam bentuk perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur kota dan pedesaan, serta jaringan pengaman sosial. Bukan untuk kemakmuran para pejabat pemerintahan saja, seperti yang cenderung terjadi di Indonesia dewasa ini.” tegas Farouk.
Lebih lanjut, Farouk melihat bahwa kondisi saat ini uang negara lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentigan para elit, belum memberikan manfaat signifikan kepada rakyat.
Menurutnya, harus dibangun sebuah kesadaran bahwa pajak adalah satu mekanisme untuk menerapkan “redistributive justice”, bukan sekedar membuat pengeluaran negara yang tidak bermanfaat bagi rakyat.
“Perlu evaluasi fundamental terkait sistim dan kemanfaatan perpajakan bagi rakyat banyak.” pungkasnya.