Jakarta, Gatra.com – Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menjadi sebuah lembaga super body yang ditakuti oleh para politisi. Berbagai usaha dilakukan untuk melemahkan baik dari aturan maupun serangan langsung kepada para punggawa KPK.
Mochammad Nurhasim, Peneliti Politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan pandangannya terkait polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menimpa 75 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nurhasim memberikan penjelasan melalui dua persepktif, yakni politisasi dan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan perjalanan KPK dari periode ke periode, dirinya mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan KPK disusutkan atau dilemahkan.
“Kalau kita lihat KPK dari tahun 2001-2014 itu ada beberapa kecenderungan bahwa KPK ini memang sudah disebut overbody, karena sebagian pihak terutama politisi dan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan korupsi selalu mengatakan ini lembaga yang tidak bisa dikontrol,” papar Nurhasim secara virtual pada Kamis (03/06.).
“Tidak ada yang mengontrol, hanya Tuhan yang mengontrol. KPK saat itu sangat kuat dan sangat ditakuti.” tambah Nurhasim.
Nurhasim menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk melihat kecenderungan apakah KPK mendapatkan penguatan atau pelemahan dari setiap rezim.
Pertama, dapat dilihat dalam konteks Undang-Undang yang mengatur tentang KPK. “Lihat apakah kewenangan KPK ditambah atau dikurang,” ujarnya. Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat dalam konteks perubahan UU KPK.
Kedua, dapat dilihat pula apakah terjadi perubahan paradigma di dalam memaknai KPK sebagai Institusi Negara di satu sisi, atau bagian dari Pemerintahan dalam sistem politik dan hukum di Indonesia.
Ketiga, jelas Nurhasim, indikator KPK mengalami penguatan atau pelemahan dapat dilihat dari bentuk organisasi KPK yang seperti apa yang disukai penguasa, apakah KPK sebagai institusi independen atau KPK sebagai bagian dari pemerintahan.
Lebih jauh, Nurhasim menjelaskan tentang dua tafsir atas Institusi KPK yang diperdebatkan di Indonesia.
“Perdebatan politik hukum di Indonesia terkait dengan menafsirkan institusi KPK paling tidak kita bisa melihat dari dua tafsir besar. Pertama KPK ditempatkan sebagai lembaga pelaksana fungsi negara atau KPK menerima tugas pemerintahan (state auxiliaries),” ujarnya.
Tafsir pertama, jelas Nurhasim, KPK tidak boleh menjadi lembaga independen, artinya ia menjadi bagian lembaga presidensial. Pasalnya dalam konsep pemerintahan presidensial terjadi unitary executive (kekuasaan terpusat).
Tafsir tersebut digunakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian mengkualifikasikan KPK sebagai eksekutif melalui putusan MK No.36/PUU-XV/2017. Padahal, menurut Nurhasim, bila dilihat pada perjalanan Reformasi, amandemen UUD 1945, sebagian mengoreksi tipe atau model kekuasaan presiden yang tidak tak terbatas.
Lanjut, Nurhasim menjelaskan, tafsir kedua yang berlaku sebelumnya, yakni KPK merupakan lembaga yang independen bahkan disebut sebagai cabang keempat dari trias politika.
“KPK tidak menjadi bagian Eksekutif, Legislatif, atau Yudikatif, tapi dia menjadi lembaga tersendiri sehingga kekuasaan presiden terdesentralisasi, tidak mengumpul pada satu tangan. Ada separation of power.” jelas Nurhasim.
Pada tafsir ini, KPK diartikan sebagai lembaga negara yang tanggung jawabnya konstitusional, bukan tanggung jawab dari bagian pemerintahan.
Terkait gejala pelemahan KPK, Nurhasim membagi periode paradigma KPK, di mana pada rentang 2002-2017 KPK sebagai Institusi Independen sementara periode 2019-2021 KPK merupakan bagian dari Pemerintah.
Nurhasim mengungkapkan di awal pendiriannya, paradigma KPK merupakan lembaga ‘super body’. Hal ini berdasarkan UU No.30 Tahun 2022 tentang KPK. Selain itu korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, maka dibutuhkan lembaga yang kuat untuk memberantasnya.
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” tulis UU No.30 Tahun 2002 pasal 3 terkait independensi KPK.
Seiring berkembangnya waktu, ungkap Nurhasim, KPK mengalami pelemahan. Nampak dari beberapa kasus yang sempat membelit KPK, di antaranya pada 2009 silam saat terjadi pemberhentian sementara Ketua KPK Antasari Azhar serta tindakan sebagian besar anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 yang meminta KPK untuk cuti penyidikan dan penuntutan. Belum lagi kasus Cicak vs Buaya, kriminalisasi pemimpin KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah), sejumlah aksi kekerasan terhadap Novel Baswedan, serta kasus kekalahan KPK atas Budi Gunawan.
Memasuki tahun 2019, menurut Nurhasim, KPK kemudian mengalami pelemahan secara paradigmatik. Banyak pihak yang menyebut KPK tidak bisa dijadikan sebagai lembaga independen murni yang kemudian tidak bisa dikontrol oleh siapa pun.
“Oleh karena itu kemudian muncul re-desain dari upaya untuk re-organisasi KPK sehingga diarahkan menjadi bagian dari pemerintah. Maka paradigma yang muncul adalah KPK harus dikontrol.”
Lebih jauh, Nurhasim memaparkan, berangkat dari paradigma KPK tersebut kemudian muncul sejumlah konteks. Salah satunya adalah intervensi dalam pembentukan tim seleksi. “Saya kira hasil dari pimpinan KPK sekarang adalah bagian dari proses intervensi kepentingan-kepentingan di luar KPK.” ujar Nuhasim.
Konteks berikutnya, jelas Nurhasim, yakni terdapat perubahan model kepemimpinan KPK yang baru. Nurhasim menyebutkan dahulu kepemimpinan KPK dikonseptualisasikan kolektif kolegial di mana keputusan diambil secara kolektif.
“Kini bila melihat peristiwa-peristiwa terakhir sejak perubahan UU No.19 Tahun 2019 itu terjadi itu model (berbeda), bahkan terkesan muncul konflik kepemimpinan di dalam KPK. Ada beberapa matahari kembar.” ujar Nurhasim.
Berikutnya, sebut Nurhasim, dirilisnya UU No.19 tahun 2019 yang kala itu dibuat secara cepat dan kilat meski muncul banyak kritik dan menimbulkan kegaduhan politik.
“UU No.19 tahun 2019 adalah bagian awal dari upaya untuk mengubah atau mengontrol KPK sebagai sebuah organisasi, selain dia dimasukkan sebagai bagian dari Pemerintah. Tujuannya nanti cukup jelas apakah akan menimbulkan pelemahan atau penguatan” ujar Nurhasim.
“Termasuk di dalam konteks desain itu adalah alih status pegawai KPK.” tambah Nurhasim.
Lanjut, Nurhasim menjelaskan bahwa mengubah status pegawai KPK menjadi ASN akan menimbulkan masalah. Menurutnya, sistem organisasi KPK selama ini terbilang jauh lebih efektif dibandingkan dengan model kerja birokrasi ASN.
Terakhir, Nurhasim turut menyinggung beberapa kasus yang muncul seperti kasus SP3, lolosnya koruptor dalam kasus BLBI, serta kasus-kasus kekalahan KPK dalam pengusutan tindak pidana korupsi.
“Ini adalah bagian dari seluruh proses agar rekonstruksi, reorganisasi KPK pada rentang waktu 2017 hingga sekarang itu prinsipnya atau paradigmanya bisa dikontrol oleh pemerintah.” pungkas Nurhasim.