Semarang, Gatra.com- Kota Semarang memiliki tradisi syawalan unik yakni warga membagikan kupat jembut. Makanan kupat ini dalamnya berisi tauge.
Syawalan adalah tradisi di sejumlah daerah di Jawa Tengah (Jateng) yang digelar tujuh hari setelah Hari Raya Idulfiri atau Lebaran yang dikenal dengan lebaran ketupat atau bodo kupat.
Tradisi kupat jembut di Kota Semarang digelar di beberapa tempat, salah satunya Kampung Jaten Cilik Pedurungan Tengah.
Warga Kampung Jaten Cilik Pedurungan memulai acara syawalan ketupat jembut dari Masjid Rudhotul Muttaqin yang berada di wilayah tersebut, Kamis (20/5).
Seusai warga shalat subuh berjamaah dan melantukan doa-doa, kupat jembut yang berisi sayur tauge dikeluarkan untuk dimakan bersama-sama
Pengurus masjid kemudian membagikan kupat jembut kepada anak-anak yang sudah menunggu di halaman masjid. Anak-anak langsung menyerbu karena selain ketupat dibagikan pula uang tunai.
Warga juga menyiapkan kupat jembut beserta uang untuk dibagikan kepada anak-anak. Bahkan ada yang menyelipkan uang dalam makanan tersebut.
Ketua Takmir Masjid Rudhotul Muttaqiin, Masroni menyatakan, tradisi syawalan kupat jembut telah berlangsung sekitar tahun 1950-an,
“Tradisi ini merupakan simbol kesederhanaan karena dilakukan saat warga usai perang ingin memperingati Lebaran dengan bahan makanan sederhana ketupat diisi tauge sebagai bentuk keprihatinan,” katanya.
Tauge yang ke luar dari ketupat itu menyerupai rambut kemaluan orang, sehingga warga membuat plesetan dengan sebutan kupat jembut, yang dikenal sampai sekarang. “Orang-orang menyebutnya begitu (kupat jembut) karena bentuknya memang seperti rambut,” ujarnya.
Sementara tokoh masyarakat Kampung Jaten Cili, Munawir menjelaskan, tradisi bagi-bagi ketupat itu bermula warga asli kembali ke kampung pascamengungsi akibat perang dunia kedua pada 1950-an.
Warga saat itu hidup dalam kesederhanaan. Namun, tetap ingin mengungkapkan rasa syukur setelah melewati bulan Ramadhan, maka digelar syukuran sepekan setelah Idulfitri atau syawalan dengan membagikan kupat tauge tanpa opor.
“Jadi tradisi ini simbol kesederhanaan. Adanya cuma tauge, kelapa, dan lombok tidak ada opor ayam. Istilahnya Lebaran cilik atau syawalan ini tidak harus dengan opor ayam,” ujar Munawir.
Tradisi tersebut memang dilakukan orang dewasa dan diperuntukkan untuk anak-anak. Sehingga para dewasa menyiapkan ketupat untuk dibagikan kepada generasi yang lebih muda atau anak-anak. “Tradisi syawalan kupat tauge sempat berhenti dua tahun karena ramai-ramai PKI waktu itu,” imbuh Munawir.
Munawir menambahkan, banyak versi penamaan tradisi syawalan itu, termasuk ada yang menyebut kupat jembut. Namun, karena kampung Jaten Cilik lebih relijius lebih nyaman menyebut ketupat khas itu dengan sebutan kupat tauge. “Kami menyebutnya kupat tauge. Tapi sebutannya memang macam-macam,” katanya.