[ad_1]
IRONI dan nestapa seputar industri nikel nasional terlalu banyak untuk dituliskan. Umumnya membuat perut mual. Ada isu-isu eksploitasi cadangan tanpa kontrol, larangan ekspor mineral mentah pro asing, kebijakan harga patokan mineral (HPM) pro smelter China, manipulasi pajak, manipulasi tenaga kerja asing (TKA) China, dan lain-lain. Jika Anda mual, jangan diam. Mari kita advokasi bersama-sama.
Kali ini IRESS menulis seputar TKA China yang sangat banyak melanggar hukum, merugikan negara dan merampas hak rakyat untuk bekerja. Meski sudah banyak digugat oleh berbagai lembaga atau perorangan, termasuk Ombudsman, Anggota DPR, serikat-serikat Pekerja, pakar-pakar, serta pimpinan partai dan ormas, masalah TKA China tetap berjalan lancar tanpa perbaikan atau tersentuh hukum.
Mengapa demikian? Karena ada oligarki penguasa-pengusaha yang melindungi dan ikut investasi dengan para konglomerat dan investor China. Mereka mendapat berbagai pengecualian dengan dalih sebagai penarik investasi/PMA, penggerak ekonomi nasional dan daerah, serta status sebagai proyek strategis nasional (PSN).
Namun di sisi lain, dengan berbagai perlindungan dan status tersebut, investasi oligarki dan China ini seolah berjalan bebas hambatan, bebas rambu-rambu hukum dan kebal hukum.
Mari kita cermati lebih seksama. Jumlah TKA China yang masuk Indonesia, terutama pada industri nikel dan bauksit (menghasilkan alumina) telah mencapai ratusan ribu orang. Wilayah yang menjadi tujuan minimal Sulawesi dan Kepri. Untuk kasus TKA China ini, perhatikanlah bebagai pelanggaran yang terjadi sejak 2019 hingga sekarang.
*Pertama,* mereka bebas masuk saat larangan kedatangan orang asing berlaku selama pandemi Covid-19. Ada 10.482 TKA yang masuk selama pandemi. Padahal Menaker telah mengeluarkan Surat Edaran M.1.HK.04/II/2020 pelarangan sementara penggunaan TKA asal China akibat wabah Covid-19 sejak Februari 2020. Antara Januari-Februari 2021, ada 1.460 TKA China yang masuk. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijakan Presiden Jokowi sendiri yang melarang masuknya warga asing mulai Januari 2021. Presiden hanya basa-basi?
*Kedua,* sebagian besar mereka masuk Indonesia menggunakan visa 211 dan 212, yaitu visa kunjungan yang tidak bersifat komersial, bukan visa untuk bekerja. Masa berlaku Visa 211 dan 212 maksimum 60 hari. Visa kunjungan tersebut telah disalahgunakan untuk berkeja berbulan-bulan atau tahunan, dan jumlah penggunanya bisa sampai ribuan TKA!
*Ketiga*, sejalan dengan butir kedua di atas, TKA yang akan bekerja di Indonesia perlu mendapat visa 311 dan 312. Namun hal ini sengaja dihindari karena perlu memenuhi berbagai syarat seperti skill, waktu dan biaya pengurusan, serta pengenaan pajak. Ternyata para pemberi kerja, pemerintah dan para TKA sengaja menghindari penggunaan visa 311 dan 312. Rekayasa dan konspirasi ini jelas pelanggaran hukum yang serius.
*Keempat*, mayoritas TKA China yang dipekerjakan hanyalah lulusan SD, SMP dan SMA, serta bukan tenaga terampil sesuai aturan pemerintah, tetapi pekerja kasar. Ini jelas melanggar aturan dan merampok hak tenaga kerja pribumi mendapat pekerjaan. Padahal Permenaker No.10/2018 antara lain mengatur syarat TKA, berupa: 1) memiliki pendidikan sesuai kualifikasi; 2) memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja 5 tahun; 3) mengalihkan keahlian kepada Tenaga Kerja Pendamping; 4) memiliki NPWP bagi TKA; 5) memiliki ITAS (izin tinggal terbatas) untuk bekerja, diterbitkan instansi berwenang; 6) memiliki kontrak kerja untuk waktu tertentu dan jabatan tertentu.
Pada smelter Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dipekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Lulusan D3/S1 hanya 2% dan berlisensi khusus 7%. Kondisi lebih parah terjadi pada perusahaan smelter Obsidian Stainless Steel (OSS) yang mempekerjakan TKA lulusan SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%. Lulusan D3/S1 17% dan TKA berlisensi khusus 4%. Para TKA China di VDNI dan OSS, Morosi Sulawesi Tenggara ini, sejak awal tidak jelas tentang jenis visa yang digunakan, fungsi dan jabatan pemegang visa. Hal ini melanggar Pasal 38 UU No.6/2011 tentang Keimigrasian.
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) pernah berdalih TKA China perlu didatangkan karena tenaga kerja lokal tidak memenuhi syarat. Kata LBP: “Kita lihat banyak daerah-daerah (penghasil) mineral kita pendidikannya tidak ada yang bagus. Jadi kalau ada banyak yang berteriak tidak pakai (tenaga kerja) kita, lah penduduk lokalnya saja pendidikannya enggak ada yang bagus. Misalnya saja matematika rendah” Selasa (15/9/2020).
Dalih LBP yang membela perusahaan China yang didukung oligarki di atas sangat sumir, manipulatif sekaligus menyakitkan. Tenaga lokal lulusan SMA, D3 dan S1 tersedia melimpah di Sulawesi dan Jawa. Apalagi sekedar lulusan SD, SMP dan SMA! Padahal faktanya VDNI mempekerjakan TKA lulusan SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Sedang di OSS, TKA lulusan SD mencapai 23% dan SMP 31%! Inilah salah satu bentuk perlindungan pejabat negara kepada perusahaan asing China, sekaligus fakta perendahan martabat dan kemampuan bangsa sendiri.
*Kelima,* meskipun bekerja di Indonesia, gaji TKA China lebih besar signifikan dibanding gaji pekerja pribumi. Hal ini mengusik rasa keadilan, sekaligus penghinaan terhadap rakyat sendiri. Pada smelter VDNI, persebaran gaji bulanan sekitar 27% TKA menerima Rp 15 juta – Rp 20 juta; 47% menerima Rp 21 juta – Rp 25 juta; 16% menerima Rp 26 juta – Rp 30 juta; 5% menerima Rp 31 juta – Rp 35 juta, dan 4% menerima 36 juta – Rp 40 juta. Hal hampir sama terjadi pada smelter OSS. Mayoritas TKA lulusan SD, SMP dan SMA. Namun memperoleh gaji BESAR dengan sebaran antara Rp 15 juta hingga Rp 35 juta.
Untuk jenis pekerjaan yang sama, gaji TKA China ini jauh di atas gaji pekerja pribumi lulusan SD-SMA yang hanya berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 15 juta, sudah termasuk lembur. Nasib pekerja lokal dan nasional di smelter-smelter milik China dan konglomerat oligarkis memang tragis. Sudah kesempatan kerjanya dibatasi atau dirampok TKA China, gajinya pun umumnya super rendah dibanding gaji TKA China! Kita terjajah di negeri sendiri.
*Keenam*, pembayaran gaji para TKA China dilakukan oleh sebagian investor di China daratan. Uang dari gaji tersebut tidak beredar di Indonesia. Tidak ada uang masuk ke Indonesia. Hal ini jelas merugikan ekonomi nasional dan daerah yang mengharapkan adanya perputaran ekonomi, peningkatan PDRB dan nilai tambah dari kegiatan industri nikel nasional ini. Mengharap nilai tambah apa, jika kesempatan kerja kasar bagi lulusan SD-SMA pribumi saja dirampok TKA China?
*Ketujuh,* dengan pembayaran sebagian gaji TKA dilakukan di China, maka negara sangat potensial kehilangan penerimaan pajak. Tidak ada jaminan VDNI, OSS dan sejumlah perusahaan smelter China lain di Indonesia, khususnya pada industri nikel dan bauksit membayar pajak. Negara berpotensi kehilangan pendapatan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) yang harus dibayar investor kepada pemerintah, yang akan tercatat sebagai PNBP. Apakah pemerintah dan lembaga terkait memahami potensi manipulasi dan kejahatan sistemik ini, dan berani bertindak sesuai peraturan yang berlaku?
Jika masalah visa, pajak, DKPTKA dan tidak jelasnya kontribusi bagi daerah penghasil SDA ini terus berlangsung dan mendapat perlindungan pemerintah atas nama investasi (FDI), pertumbuhan ekonomi dan proyek strategis nasional, lalu negara dapat apa? Rakyat sendiri dipajaki, sementara sebagian perusahaan China dan konglomerat oligarkis bebas bayar pajak dan mendapat pula berbagai fasilitas yang melanggar aturan. Kapan ketidakadilan ini diakhiri?
Di tengah terjadinya banyak PHK dan bertambahnya pengangguran yang memiskinkan puluhan juta rakyat Indoensia akibat pandemi, ratusan atau mungkin ribuan TKA China terus masuk setiap bulan. Terlepas dari berbagai pelanggaran yang terjadi pada industri tambang mineral, khusus isu TKA China, minimal kita menemukan *tujuh masalah* yang melanggar aturan, merampok hak pribumi dan merugikan keuangan negara seperti diurai di atas.
Pelanggaran tersebut bukan saja direkayasa dan disengaja, tetapi juga berjalan aman, terkesan mendapat dukungan atau minimal perlindungan pemerintah. Karena itu, wajar jika rakyat menuntut agar perusahaan PMA seperti VDNI dan OSS diproses secara hukum dan siberi sanksi atas semua pelanggaran dan manipulasi yang dilakukan. Hal ini juga sekaligus untuk membuktikan pemerintah mampu bersikap adil, serta tidak pro investor China dan konglomerat oligarkis.
Berbagai pelanggaran di atas berdampak pada hilangnya kesempatan bagi sebagian rakyat untuk bekerja di negara sendiri. Bahkan negara pun kehilangan kesempatan memperoleh penerimaan pajak dan PNBP triliunan Rupiah. Hal ini merupakan hal yang harus dibuka terang-benderang dan diselesaikan sesuai hukum secara transparan, bermartabat dan berdaulat! Jika pelanggaran ini terus berlangsung, berhentilah meneriakkan “MERDEKA”, karena faktanya NKRI sedang dijajah di negeri sendiri!
Oleh: Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS
[ad_2]
Sumber Berita